Monday 22 December 2008

CATATAN PAK WISNU

Dari Pak Wisnu untuk Fransiskan"Fransiskan"
Cc:
"Lingkungan St. Theresia" , "Keuskupan Bogor" , "Paroki Net" Parokinet@googlegroups.com

cerita2 ah... :)

Sebenarnya sudah beberapa bulan lalu saya melirik2 buku dengan judul"menimba kekayaan liturgi" karya -siapa lagi jika bukan- Sdr.Fransiskus Borgias :) tapi baru kemarin sempat menariknya dari rak buku tb. Kharisma di ekalokasari plaza bogor.buku yang tidak terlalu tebal itu menarik, karena liturgi dipandang dari pengalaman2 pribadi sdr. frans sebagai seorang awam dan diceritakannya dengan bahasa awan yang menarik pula, menjadikan liturgi menjadi sesuatu yang enak untuk dibaca dan tidak melulu menjadi bacaan para imam :)karena buku itu terdiri dari karangan2 lepas, jadi kita bisa membaca lompat sana-sini sesuai topik yang menarik bagi kita.

Setelah membaca daftar isi saya langsung membuka bab tentang pengalaman sdr. fransbertemu dan berdiskusi dengan temannya seorang orthodox yunanimengenai beberapa kekayaan simbol liturgi gereja mereka.bab tersebut juga membahas hal2 yang simpel saja, bagaimana seorangimam orthodox yunani memberi berkat dengan jari2 tangannya yangmembentuk huruf2 tertentu dan bagaimana seorang umat orthodox yunanimembuat tanda salib dengan jari2 yang melambangkan trinitas dan 2 kodrat dalam 1 pribadi. tradisi orthodox memang kaya dengan simbol2dan ikon2.

Bab yang lain juga tidak kalah menarik, misal berkenaan dengan nama baptis, bagaimana jika seseorang mengambil nama baptis dalam perjanjian lama misalnya, apakah dalam upacara pembaptisannya akan disebutkan nama st. Adam? st. Abraham? st. Musa? dan lainnya, sdr.Frans juga bercerita mengenai nama baptis dan perjumpaannya dengan nama2 tradisi lokal. Dan, seperti buku2 sdr. frans yang lain, contoh2 yang diberikan tidak jauh dari tradisi2 fransiskan :) dari Fransiskus Assisi, Bonaventura, Antonius Padua dan lainnya, maklumlah, sdr. Frans memang sangat dekat dengan tradisi Fransiskan, seperti buku2 sdr. Frans yang lain: S.Clara cahaya dalam taman, Devosi kepada St. Antonius Padua hingga buku tentang Mgr. Geise Ofm.

Sdr. Frans, teruslah berkarya, saya cc-kan juga cerita2 ini ke milis lain, semoga sdr. Frans tidak keberatan, anggap saja promosi gratisan:)

salam hangat - wisnu

Tuesday 16 December 2008

CATATAN MENJELANG NATAL 2008

Ada beberapa hal yang dapat ditulis minggu ini.

Pertama:
Kita berada dalam Masa Adven, suatu masa penantian kedatangan Tuhan Yesus baik secara spiritual-lahiriah sebagai penantian hari Natal, maupun secara eskatologis sebagai penantian kedatangan Tuhan di akhir zaman. Santher menyelenggarakan beberapa pertemuan untuk menyambut Adven. Pertemuan pertama (Sabtu 6 Desember 2008) diselenggarakan di rumah Bapak Djoko Pitono (FK 4/10); Pertemuan kedua (Sabtu 13 Desember 2008) diselenggarakan di rumah Bapak M. Ichwan Setyarno (FE 7/16); dan Pertemuan ketiga (Sabtu 20 Desember 2008) diadakan di rumah Ibu Mega (FA 4/3). Tema Adven 2008 adalah ...

Kedua:
Kita ikut berbela sungkawa atas wafatnya ibunda Bapak Adrianto Budiarsa pada Minggu 7 Desember 2008 yang lalu dan telah dikremasi pada Rabu, 10 Desember 2008. Semoga jiwa beliau beristirahat dalam kedamaian abadi dan keluarga yang ditinggalkan senantiasa dianugerahi rahmat dan berkat untuk dapat melanjutkan perjuangan ibu yang telah dipanggil Tuhan.

Ketiga:
Tugas koor Santher untuk Minggu 28 Desember 2008 pk. 9.00 di Gereja St Ignatius akan ditangani Bapak M. Padmanaba dan beberapa anggota umat yang lain. Mereka mengemban tugas yang cukup berat karena hampir semua anggota koor Santher akan pergi ke luar kota sebelum atau sesudah Natal hari pertama (25 Desember 2008). Biasanya pada misa-misa sesudah Natal hingga tahun baru gereja tidak begitu dipadati umat... karena itu seandainya Pak Nobo dan rekan-rekan menyanyikan lagu-lagu hanya dengan satu suara dan tanpa iringan pun misa akan tetap meriah....

Keempat:
Redaktur blog Santher mengucapkan Selamat Natal 2008 dan Selamat Tahun Baru 2009 kepada seluruh umat di Lingkungan Santa Theresia Bogor Raya Permai. Semoga berkat Tuhan selalu melimpah atas kita sekalian. Bagi umat yang hendak “mudik”, semoga Tuhan senantiasa melindungi saudara semua. (“mudik” berarti “menuju udik”... jangan lupa untuk kembali ke Bogor...).

(Thomas A. Sutadi)

Wednesday 10 December 2008

IN-AND-OUT

Saya copy and paste-kan dua buah cerita pertobatan: yang pertama dari seorang bapak yang terlahir dari keluarga Katolik dan memutuskan menjadi seorang mualaf... dan yang kedua dari seorang bapak yang terlahir dari keluarga muslim dan memutuskan menjadi seorang pengikut Yesus Kristus dalam Gereja Katolik. Kita tidak akan mengadili mereka... kita akan belajar dari proses mereka mengambil keputusan... Pada akhirnya kita akan bertanya kepada diri kita sendiri... apakah kita sudah layak disebut anak-anak Allah dan pengikut Yesus Kristus yang setia...
Kedua tulisan ini saya dapatkan dari blog-blog lain dan saya tampilkan hampir tanpa proses editing... supaya tidak saya bumbui dengan kata-kata yang "nggegirisi"... frightening words... Selamat membaca...
(Thomas A. Sutadi)
Ibu Mengancam Bunuh Diri
KotaSantri.com :
BilikRubrik : Mualaf
Publikasi : 13-11-2005 @ 18:06
Nama saya Yohanes Paulus. Saya lahir di Yogyakarta. Tepatnya pada 26 September 1944. Saya berasal dari keluarga yang beragama Kristen Katolik. Keluarga saya sangat dikenal sebagai penganut Kristen yang taat dan fanatik. Ayah saya, Laksamana Pertama (Purn.) R.M.B. Suparto dan ibu saya, Maria Agustine Kamtinah.
Latar belakang pendidikan saya adalah pendidikan yang berbasis agama Kristen Katolik, baik itu pendidikan formal maupun pendidikan di lingkungan keluarga. Sejak kecil saya sudah dididik menjadi penganut agama yang fanatik. Oleh orang tua, saya disekolahkan di sekolah Kristen. Mereka memasukkan saya ke Taman Kanak-kanak Santa Maria Yogya. Kemudian dilanjutkan pada Sekolah Dasar Kanisius Yogya. Lalu dimasukkan ke sekolah menengah pertama hingga menengah atas di sekolah Kanisius Jakarta.
Untuk lebih memantapkan agama dalam diri saya, pada umur 12 tahun saya dipermandikan atau dibaptis. Oleh gereja, saya diberi nama Yohanes. Pada umur 17 tahun, saya pun mendapat nama tambahan lagi yakni Paulus. Nama itu diberikan setelah saya mengikuti upacara sakramen penguatan yang dilakukan oleh pihak gereja. Jadi, sekarang nama Kristen saya adalah Yohanes Paulus. Nama ini menggantikan nama pemberian orang tua saya, yaitu Bambang Sukamto.
Karena latar belakang pendidikan dan pergaulan selalu dalam lingkaran agama Kristen Katolik, maka sejak kecil saya selalu diberi pandangan bahwa agama Islam itu agama yang sesat. Orang-orang Islam itu adalah domba-domba yang perlu diselamatkan. Setiap kali mendengar suara mereka mengaji, selalu saya anggap mereka sedang memanggil setan. Begitu pun setiap saya melihat mereka shalat, saya beranggapan mereka sedang menyembah iblis. Perasaan anti Islam terasa begitu kuat dalam diri saya, sehingga saya berniat untuk menyerang teman-teman yang beragama Islam. Kepada mereka, saya selalu mempromosikan bahwa agama sayalah yang paling benar.
Setelah lulus sekolah lanjutan atas, saya melanjutkan studi ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Di lingkungan kampus ini saya kembali bergabung dalam kelompok aktivis gereja. Dalam kelompok ini saya juga bergabung dalam sebuah kelompok yang sangat militan. Dalam kelompok militan ini saya berjuang sebagai prajurit Perang Salib yang bertujuan menghadapi syiar agama Islam di Indonesia. Setelah bergabung dalam kelompok ini, saya semakin yakin bahwa umat Islam yang mayoritas ini merupakan domba-domba yang harus diselamatkan. Saya akan menyelamatkan dan mengajak mereka untuk ikut dalam ajaran Yesus Kristus, khususnya masuk dalam agama Kristen Katolik.
Dalam studi kedokteran ini, saya juga bergabung dalam sebuah kelompok studi. Kelompok ini beranggotakan empat orang mahasiswa. Tiga orang teman saya beragama Islam, sedangkan yang Kristen cuma saya. Kami selalu belajar bersama di rumah saya. Bila tiba waktu shalat, mereka pamit sebentar untuk shalat berjamaah. Usai shalat, mereka saya ajak untuk berdiskusi mengenai masalah agama. Dalam diskusi itu, saya mulai menyerang mereka. Saya selalu mendiskreditkan agama mereka. Misalnya, mengapa shalat itu harus menghadap kiblat dan harus berbahasa Arab dalam membacanya. Saya katakan pada mereka, kalau begitu Tuhan kalian tidak sempurna, karena hanya ada di Arab. Setelah itu, saya membandingkan dengan Tuhan agama saya yang ada di mana-mana.
Mendapat serangan itu, teman-teman saya tenang saja. Mereka menjawab bahwa di mana pun berada, orang Islam dapat shalat berjamaah dan selalu sama bahasanya dalam beribadah. Ini menunjukkan bahwa agama Islam itu agama yang benar dan universal (untuk semua manusia). Mereka malah balik bertanya, mengapa orang Kristen itu kalau bangun gereja tidak satu arah? Malah terkesan berantakan ke segala arah? Itu, kata mereka, menunjukkan bahwa Tuhan saya akan bingung ke mana harus berpaling. Mereka juga mengatakan, bahasa agama saya itu tidak sama, bergantung wilayah. Jadi, kesimpulannya, mereka mengatakan bahwa agama saya itu hanya agama lokal. Saya kaget dan tersentak mendengar jawaban itu. Ternyata mereka pandai-pandai, tidak seperti dugaan saya selama ini.
Saat duduk di tingkat IV FKUI, saya menjalin hubungan dengan gadis muslimah. Gadis itu ingin serius kalau saya sudah beragama Islam. Tawaran ini tidak saya penuhi, karena sikap anti-Islam saya kala itu sangat kuat. Akhirnya kami putus. Sikap keras gadis ini membuat saya penasaran. Mengapa gadis itu tidak goyah keyakinannya? Rasa penasaran ini mendorong saya untuk banyak membaca dan mempelajari Islam. Saya coba melahap buku-buku Islam, seperti Akidah dan Tauhid Islam, Api Islam, Soal Jawab tentang Islam, dan Islam Jalan Lurus. Untuk hal yang tidak jelas, saya sering bertanya kepada teman teman. Saya juga sering menghadiri kuliah dan diskusi agama Islam. Dari sinilah, tanpa saya sadari, muncul ketertarikan terhadap Islam. Saya begitu kagum dan hormat kepada pribadi Nabi Muhammad SAW yang telah membawa dan memperjuangkan agama agung dan mulia ini. Dari sini pula, saya dapat memperoleh jawaban dari berbagai persoalan yang selama ini menjadi ganjalan dalam agama saya. Saya mulai percaya, Islam adalah agama yang rasional, mengajarkan disiplin, bersifat sosial, dan menjunjung tinggi kesusilaan. Pengalaman seperti ini membuat keimanan saya goyah. Saya sering lupa pergi ke gereja. Saya sering terbangun jika mendengar adzan shubuh. Saya sering mendengar suara yang memanggil untuk beriman secara benar. Dalam hati, saya ingin meniatkan untuk masuk agama Islam. Tapi, saya belum berani mengutarakannya kepada keluarga dan teman-teman seagama.
Tahun 1971, keinginan untuk masuk Islam semakin kuat. Teman-teman kuliah dulu mendukung keinginan itu. Akhirnya pada bulan Ramadhan tahun itu juga, saya berikrar menjadi seorang muslim. Di bawah bimbingan cendekiawan muslim Doktor Nurcholish Madjid, saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat di rumah Bapak Syaaf di Kramat Kwitang.
Rasa haru dan gembira pada saat itu tidak terlupakan. Teman-teman menyambut baik keislaman saya itu. Saya merasakan betapa sejuk dan nikmatnya persaudaraan Islam ini. Nama baptis dan sakremen, Yohanes Paulus, segera saya ganti dengan nama pemberian orang tua saya semula, yakni Bambang Sukamto.
Keislaman saya ini mendapat tantangan dari keluarga dan teman-teman gereja. Mereka menyindir, mencela, dan bahkan menuduh saya sesat. Mereka juga berusaha untuk menarik saya kembali ke agama lama. Yang paling berat adalah tantangan dari ibu kandung saya. Saya dimarahi dan dicaci maki habis-habisan, karena dianggap telah berkhianat. Ibu juga mengancam akan bunuh diri jika saya tidak kembali ke agama Kristen. Tantangan ini saya hadapi dengan sabar dan tabah. Lama-kelamaan tantangan ibu saya itu reda juga.
Akhirnya, saya dapat menjalankan ibadah ini dengan baik dan tenang. Saya banyak belajar tentang Islam. Alhamdulillah, pada tahun 1991, saya bersama istri dapat menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Dan untuk membantu para mualaf dalam mempelajari Islam, saya bersama teman-teman mendirikan sebuah pengajian/majelis taklim Al-Mantiq.
[mualaf.com]Bilik @ KotaSantri.com
KONTROVERSI PERTOBATAN MAGDI ALAM
Sebuah Ziara Pribadi dan Bukan Keputusan Politik
Paskah tahun 2008 mungkin saja cukup mengagetkan Paus Benediktus XVI. Di malam paskah, seorang tokoh Muslim Italia yang sudah mempersiapkan diri selama setahun untuk menjadi Katolik akhirnya dibaptis Sri Paus. Dialah Magdi Alam, 56 tahun, dibaptis tanggal 22 April 2008 di Basilika Santo Petrus Roma, di bawah sorotan kamera televisi dan disiarkan ke banyak Negara.
Dalam konteks dialog dan hubungan antara agama Katolik dan Muslim, pertobatan ini bisa saja disalahmengerti. Tetapi Magdi Alam sendiri mengakui kepada media, bahwa mereka yang memprotes dan mengkritik tindakannya tidak mengerti mengapa dia bertobat dan memeluk iman Katolik. Pertobatannya sama sekali bukanlah suatu manuver politik sebagaimana dituduhkan orang padanya.
Magdi Alam dilahirkan di Kairo, Mesir. Sewaktu kecil dia memang bersekolah di sekolah-sekolah Katolik. Menurut pengakuannya, dia sebenarnya sudah tertarik pada iman Katolik sejak dia berusia 4 tahun. Meskipun para biarawati yang mengelola sekolah tempat Magdi menuntut ilmu tidak bermaksud menobatkan dia, pendidikan dan pembinaan yang dijalankan para suster Salesian dan Comboni sangat membantu dia “menjadi sadar akan realitas agama, memberikan kesempatan bagi dirinya untuk mengambil bagian dalam kehidupan para religius Katolik dan tokoh-tokoh awam, membaca Alkitab dan Injil, dan menghadiri perayaan Ekaristi.”
Magdi Alam pindah ke Itali tahun 1972, pada usia 20 tahun, dan tinggal di sana sampai sekarang. Belakangan ini, menurut pengakuannya, “dua pengalaman mempercepat langkah saya untuk bertobat menjadi Katolik.”
“Pengalaman pertama adalah lima tahun lalu ketika saya menemukan diri berada dalam perlindungan tentara kaum bersenjata karena ancaman dari para ekstrimis dan teroris Muslim,” demikian pengakuan Magdi Allam. “Situasi ini memaksa saya untuk berefleksi tidak hanya pada realitas ekstremis Islam, tetapi juga pada Islam sebagai agama.”
Pengalaman kedua adalah kesempatan untuk bertemu dengan umat Katolik biasa—dan satu orang yang sangat spesial, yang Paus Benediktus XVI sendiri. “Saya bangga menjadi salah satu dari sedikit orang Muslim di Italia yang bekerja di sebuah surat kabar nasional yang berdiri teguh membela Sri Paus setelah pidatonya di Regensburg tanggal 12 September 2006,” demikian Magdi Allam. “Saya tidak hanya membela Paus dari segi kebebasan berpendapat, saya juga membela isi dari yang dikatakannya, karena percaya bahwa apa yang dikatakannya berkorespondensi dengan kebenaran dan level ilmiah.”
Paus dalam pidatonya memberi tekanan pada pentingnya nalar dan menentang kekerasan dalam agama. Magdi Allam mengakui bahwa rencananya untuk dibaptis Paus muncul sekitar satu tahun yang lalu ketika dia memulai kursus persiapan bersama Uskup Rino Fisichella, Rektor Universitas Pontifikal Lateran, Roma.
Aref Nayed adalah juru bicara bagi 138 ilmuwan Muslim yang menginisiatifi proyek dialog Common Word di bulan Oktober dan yang mendirikan Forum Katolik-Muslim untuk dialog dengan Vatican di awal bulan Maret.
Nayed menanyakan secara terbuka kepada Paus Benediktus XVI mengapa dia memutuskan untuk membaptis Magdi Allam. “Menyedihkan bahwa tindakan yang intim dan pribadi dari sebuah pertobatan religius dilakukan dalam cara yang megah dan meriah hanya untuk mencatat skor,” kata Nayed. “Adalah menyedihkan bahwa orang yang khusus dipilih untuk pengormatan publik ini memiliki sejarah melahirkan dan terus melahirkan diskursus yang penuh kebencian.”

Magdi Allam mengatakan bahwa hal ini tidaklah benar. “Saya tidak menyangka bahwa hal ini bisa mungkin. Saya tidak pernah memikirkannya barang semenitpun ketika saya memutuskan menjadi Katolik ketika hal-hal yang baik dapat terjadi.”

Bagi Magdi Allam, kontroversi karena pertobatannya memunculkan standar ganda yang mematikan. “Saya sungguh merasa kecewa bahwa mereka menganggap pembaptisan seorang Muslim ke Kristianitas sebagai sebuah provokasi, dan citra seorang Paus yang membaptis seorang Muslim harus membuat hal ini menjadi lebih buruk,” demikian Allam.

“Ini seolah-olah ibarat seseorang yang melihat bahwa pembaptisan seorang Muslim sebagai sesuatu yang memalukan sebegitu rupa sehingga mereka menganggapnya bahwa jika saya dibaptis di sebuah paroki yang jauh, jauh dari masyarakat, berarti bahwa itu lebih baik supaya orang-orang tidak tahu mengenainya. Saya bangga sebagai orang yang bertobat kepada Katolisisme dan menerima pembaptisan itu secara meriah dan diketahui publik.”

Magdi Allam mengatakan bahwa di Eropa sudah ada ribuan orang yang bertobat kepada Islam dan “tidak ada seorang pun yang mempermasalahkan hal ini. Tak seorang pun yang diperbolehkan untuk mengkritisi hal ini, atau mengancam mereka, tetapi jika hanya seorang saja Muslim yang bertobat kepada agama Kristen, tiba-tiba saja dia dijatuhi hukuman mati karena penghojatan. Ini yang terjadi saat ini di Eropa—bukan di Arab Saudi. Jika kita di Eropa saja tidak membela kebebasan beragama, termasuk hak seorang Muslim untuk bertobat ke agama Kristen atau iman kepercayaan lainnya, maka saya bisa mengatakan bahwa kita telah kehilangan perjuangan kita demi peradaban dan kebebasan.”

Islam ModeratAllam menjadi contoh yang unik untuk melihat konflik Islam-Kristen. Di satu pihak, dia dikenal sampai belum lama ini sebagai suara dari dalam Islam yang menyuarakan moderasi. Di lain pihak, sekarang dia meminta perlindungan karena merasa diancam oleh kaum Muslim yang marah atas pilihannya menjadi seroang Katolik.

"Saya yakin ada Islam moderat, bahwa ada kaum Muslim yang mendukung hukum yang menjamin koeksistensi,” demikan Allam. “Orang tidak secara otomatis merupakan produk dari dogma-dogma imannya; mereka bukan seperti buah dari sebuah pohon. Dalam kenyataan, orang itu sangat kompleks. Setiap individu bersifat khas, memiliki hubungan yang khas dan tertentu dengan agamanya yang bisa saja dangkal atau dalam.”

“Kita harus membedakan pribadi dan agama,” demikian Allam. “Islam adalah sebuah agama yang selalu bersifat plural karena ia memiliki dalam dirinya sejumlah besar jiwa-jiwa. Tetapi sebagai agama, ia tidak pernah menjadi pluralistik, tidak pernah menjadi demokratis.” Dia mengatakan “perang bersifat internal bagi Islam. .... Cukuplah untuk menganggap bahwa tiga atau empat penerus Muhammd dibunuh oleh Islam karena jalan mereka bertentangan dengan jalan yang dianggap sebagai jalan Islam, cara mereka menjalankan kekuasaan.”

Tetapi apakah Islam ditakdirkan untuk mengulangi hal ini di masa depan? Dapatkah dia berubah?“Saya tidak ingin membatasi Penyelenggaraan Ilahi, tetapi sebagai seorang Muslim selama 56 tahun, saya tidak menjadi yakin akan kemungkinan adanya perubahan internal dalam Islam, bahwa agama ini bakal akan menundukkan dirinya sepenuhnya pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang menurut pertimbangan saya bersifat tidak mengalienasikan dan tidak terbantahkan.” Harapan yang terbaik, demian Allam, adalah koeksistensi.

Karena pertobatan ini Allam sekarang harus menghadapi satu konsekuensi penting: Kemarahan dari mereka yang selama ini mendukung pandangan-pandangannya mengenai ekstrimisme Islam yang juga khawatir karena pembaptisan ini justru akan menghasut kaum Islam ekstrem untuk menyerang orang-orang Kristiani.

Alam menjawab hal ini dengan mengatakan bahwa sikap semacam ini didasarkan pada salah pamam. “Kita harus membebaskan diri kita dari asumsi-asumsi yang lazim bahwa kekerasan yang dilancarkan kaum ekstremis dan teroris adalah reaktif, yakni tindakan yang tergantung pada provokasi,” demikian Allam. Allam mengatakan bahwa serangan tanggal 11 September atas menara kembar di Amerika Serikat mengkarakterisasi terorisme Islamis sebagai “agresif” daripda sekadar defensif. Osama Bin Laden bertindak atau beraksi tanpa ada provokasi.

“Itu adalah tindakan perang, tindakan agresi melawan Amerika Serikat,” demikian Allam. “Dewasa ini, orang-orang Kristiani di Timur Tengah, di negara-negara Islam, di Iraq, telah dibantai. Mereka mengalami penganiayaan di Mesir, Algeria, Sudan, dan Lebanon. Semua ini terjadi karena mereka diprovokasi oleh Sri Paus. Mereka membunuh orang Kristen karena mereka menganggap penggunaan kekerasan sebagai tindakan yang sah (legitim) melawan semua orang yang tidak sepaham dengan mereka.”

Daripada bersikap reaktif terhadap berbagai peristiwa yang terjadi, para teroris justru menyerang tempat-tempat yang mereka kehendaki dan kemudian mencari alasan pembenar atas tindakan-tindakan mereka tersebut.“Mereka memanipulasi kejadian dengan mengatakan: ‘Ini adalah kesalahan Sri Pus, ini karena kesalahan Magdi Allam,’ dan karena hal ini, kita dapat bertindak dalam cara tertentu. Tetapi sebenarnya mereka sudah melakukannya: sejak tahun 1945, sekitar 10 juta orang ditelantarkan di Timur Tengah. Di negara-negara di pantai bagian selatan Mediterania, terdapat 1 juta orang Yahudi pada waktu itu; sekarang hanya ada sekitar 1000 orang. Semua ini terjadi karena realitas ketidaktoleranan dan kekerasan melawan semua orang yang bukan Islam.”Osama Bin Laden mengirim sebuah pesan berbahaya dan mengancam yang menyebut Sri Paus beberapa hari sebelum hari raya Paskah. Apakah pesan yang kebetulan ini membuat pertobatan Magdi Allam terlihat sebagai bagian dari sebuah perang salib?

Allam menolak bahkan untuk menimbang pertanyaan ini.‘Bin Laden adalah pimpinan ideologis dari jaringan teroris Islam seluruh dunia,” demikian Allam. “Kita berbicara mengenai sebuah kejahatan, orang yang paling diburu di dunia, sosok yang telah membunuh ribuan orang, sosok yang membenarkan pembunuhan tanpa pandang bulu atas orang-orang yang tidak tunduk pada kekuasaannya. Kita tidak dalam cara apapun membenarkan orang semacam ini dan menimbang dia dalam negosiasi-negosiasi. Sri Paus tidak memaklumkan sebuah perang salib.”

Bagi Allam, pembaptisan tersebut memiliki makna yang cukup berbeda mengenai Sri Paus Benediktus. Mengenai hal ini, Allam mengatakan, “Dia telah meletakkan iman dan akal budi melebihi berbagai pertimbangan diplomatik dan politik.” Allam kemudian melanjutkan, “Saya percaya Sri Paus dalam konteks ini telah menunjukkan dirinya sendiri sebagai seorang Paus besar karena dia memposisikan dirinya sendiri di atas berbagai kepentingan.”

Diterjemahkan dari Laporan Jurnalistik EDWARD PENTIN seorang koresponden REGISTER) Register Edisi 6-12 April 2008
Diposkan oleh Bagaikan Roti Diremah di
03:26

Tuesday 9 December 2008

FESTIVAL PS. LINGKUNGAN PAROKI KATEDRAL BMV 2008

Persiapan
Jumat 5 Desember pk 20.30-21.30 berlangsung gladi kotor Koor Santher di rumah Bapak Totok. Meskipun tidak bisa lengkap, karena beberapa orang masih harus melakukan tugas-tugas kantor atau ada urusan lain hingga malam hari, latihan berlangsung lancar. Satu hal yang pasti... latihan dilakukan dalam suasana segar... “guyup rukun”, penuh persaudaraan... ini ciri khas Koor Santher. Latihan ini juga melibatkan Sheila yang keesokan harinya akan membantu Koor Santher. Sebenarnya Sheila sendiri tidak hanya akan membantu Santher karena ia masuk dalam tim panitia pelaksana festival... Sheila akan stand by di belakang organ... kalau-kalau ada peserta yang secara mendadak perlu bantuan dalam menangani organ. Sudah menjadi kebijakan panitia festival untuk menyediakan organis bagi paduan suara yang memerlukan organis... dan ternyata hanya Koor Santher saja yang meminta bantuan Sheila untuk mengiringi seluruh lagu.

Pelaksanaan Festival
Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu tiba. Sabtu, 6 Desember 2008 pk. 8.30 – 13.30 berlangsung Festival Paduan Suara Lingkungan Paroki BMV Katedral Bogor 2008.

Sejak pukul 7.00 pagi anggota Koor Santher sudah bersiap-siap di depan rumah Bapak-Ibu Wahyu Drajat Santosa. Pak Nobo dan Ibu Ligaya rupa-rupanya memberi contoh kedisiplinan yang luar biasa... mereka berdua datang beberapa waktu sebelumnya. Setelah briefing dan saling mengechek persipan, Koor Santher berangkat... Pk. 8.15 semua sudah sampai di Katedral. Lalu... dengan semangat menggebu-gebu semua berlatih di ruang makan Seminari Stella Maris Bogor (sudah minta izin ke staf Seminari loh...).

Pukul 8.45 semua peserta sudah memasuki Katedral. Pk.9.00 acara festival dimulai. Pastor Paroki RD Benyamin Sudarto dalam sambutannya berharap bahwa festival ini dapat menjadi awal mula bertumbuh dan berkembangnya paduan-paduan suara di Katedral. Menang atau kalah... mendapat nomor urutan terbaik atau tidak... bagi peserta bukanlah hal yang penting. Menurut Rm Ben, semua peserta festival ini adalah peserta terbaik...

Pukul 9.25 peserta pertama mulai tampil... dan seterusnya. Dari 22 koor yang mendaftar untuk festival ini ada 13 peserta yang tampil; artinya ada 9 kelompok yang mengundurkan diri; Koor Santher adalah satu-satunya wakil dari Wilayah St Petrus Semplak.

Koor Santher mendapat urutan nomor 7. Dua lagu dibawakan, yaitu lagu AGNUS DEI (Misa De Angelis, PS. 408) sebagai lagu wajib, dan lagu NUBUAT NABI sebagai lagu pilihan. Untuk lagu Agnus Dei, sepertinya Koor Santher agak lambat menyanyikan lagunya. Itu menurut kriteria juri yang memberikan evaluasi akhir secara umum. Namun kita juga heran karena beberapa tokoh koor di paroki Katedral justru mengatakan bahwa cara menyanyikan lagu gregorian tersebut sudah benar... sangat khidmat... sudah “in”... dan “nyetrum”...

Hasil Festival
Sesudah makan siang, pengumuman siapa yang terbaik pun dilaksanakan. Koor Lingkungan Terbaik 1 dalam Festival ini adalah Koor St Benediktus Baranangsiang Indah pimpinan Ibu Yanthi Marhadi. Beliau juga menjadi dirigen favorit pilihan Tim Evaluasi. Sedangkan koor favorit pilihan penonton justru diraih Koor St Mikael Kedung Badak Baru pimpinan Ibu Rosa Lorry. Bagaimana dengan Koor Santher? Rupa-rupanya dalam festival ini Santher belum dianggap meraih predikat koor terbaik 1-6... cukup menjadi penggembira saja dulu... toh dari semula Koor Santher juga tidak terlalu “ngotot” mau jadi juara...

Evaluasi Diri
Selain kalah suara... (Koor Santher dengan 19 orang anggota adalah 1 dari 2 kelompok mini yang anggotanya kurang dari 20 orang)... kita terus terang saja kurang latihan, terutama latihan vocal, latihan pernafasan, latihan penghayatan lagu dan latihan menghafal lagu. Tetapi, untuk urusan sifat liturgi koor Santher... kita tidak perlu merasa minder... Artinya, koor kita memilih lagu yang benar-benar liturgis... tidak menyanyikan lagu-lagu rohani semata-mata... Bandingkan dengan beberapa kelompok koor lain yang menyanyikan lagu-lagu non liturgis namun toh dianggap lebih baik daripada Santher... Dalam festival memang selalu ada unsur subyektif dari tim juri atau tim penilai... itu biasa banget.

Yang “cetha”... yang jelas... Koor Santher sudah biasa melayani di Gereja Semplak dan pernah bertugas di Katedral... Selama ini Koor Santher dengan segala keterbatasan materi suara dan waktu latihan juga sudah bisa menciptakan suasana ibadat yang khidmat di Gereja Semplak... semoga hal-hal seperti ini menjadi kebanggaan Koor Santher dan dapat dipersembahkan kepada Tuhan. So... tidak usah berkecil hati...

Evaluasi pelaksanaan festival
Tentang pelaksanaan festival sendiri, Bapak Bambang Koryanto yang mengkoordinasikan acara festival memang sangat profesional dan cekatan dalam mengatur pelaksanaan festival ini. Para anggota panitia juga bekerja dengan sangat baik... mereka adalah orang-orang dahsyat yang memiliki komitmen tinggi untuk melayani Gereja. Anda tidak perlu heran... bahwa orang-orang seperti Bapak Adrianus Wijaya, Bapak Michael Agus Muhardi dan Bapak Nurwiyono mau juga menjadi pemandu peserta dan among tamu...

Ada banyak kendala dalam festival ini, di antaranya karena pelaksanaan festival jatuh pada hari Sabtu... sebagian orang masih harus bekerja... bahkan banyak guru sekolah yang masih harus mengawasi ujian-ujian di sekolah masing-masing...

Apa yang dapat Koor Santher Pelajari?
Kita berharap bahwa Koor Santher dapat belajar dari festival ini, khususnya untuk hal-hal ini:
- Koor Santher harus sadar bahwa kita ini memiliki potensi dahsyat untuk dapat berkembang menjadi koor yang lebih bagus dan liturgis...
- Koor Santher harus tetap bersatu, kompak dan bersemangat seperti pada saat-saat persiapan festival kemarin dan terus tekun berlatih...
- Koor Santher harus berusaha memiliki paling tidak seorang organis sendiri... barangkali kita perlu memberi motivasi kepada anak-anak kita untuk mau belajar menjadi organis gereja...
- Koor Santher bukan koor untuk lomba atau festival, melainkan koor untuk pelayanan liturgi: menciptakan suasana khidmat ibadat dengan nyanyian-nyanyian gereja sehingga jemaat Allah dibantu untuk mengangkat hatinya dalam berdoa.

Tuesday 2 December 2008

PADA MULANYA ADALAH KOOR SANTHER


Ini gambar koor Santher pada tahap awal mula, tahun 2003-an... lagi semangat-semangatnya tugas, maka setelah tugas pun harus difoto... Yang tidak tampak dalam gambar ini adalah yang sedang mengambil gambar... siapa ya? Ada yang ingat?
Sesudah kira-kira 5 tahun eksis, rupa-rupanya hampir separo orang dalam gambar itu sudah tidak aktif lagi di Koor Santher sekarang... Ada yang pindah tempat tugas, ada yang harus menjadi MC (momong cucu), ada yang kuliah di luar kota, ada yang bekerja di tempat lain, ada yang sangat sibuk sehingga tidak ada waktu lagi... dan seterusnya. Kita berharap bahwa mereka yang sekarang tidak bisa lagi bergabung dalam koor tetap mendukung anggota-anggota sekarang lewat doa-doa mereka.
OK... kekompakan lingkungan semoga terus terlihat dan menghasilkan buah-buah rohani: cinta kasih dan iman yang hidup...

HALLO BIA... APA KHABAR?


Perjalanan hidup seseorang dari kecil hingga dewasa selalu memencarkan keajaiban... Seorang teman yang berprofesi sebagai bidan, sebut saja Mbak Andang... karena memang namanya demikian dan bertugas di Rumah Bersalin Melania Bondongan, pernah menyampaikan kepada saya betapa ia selalu terpesona oleh hal-hal dahsyat yang ia temui ketika membantu para ibu dan calon ibu untuk mempersiapkan kelahiran, menjalani kelahiran dan merawat bayi sesudah bayi dilahirkan. Itu juga menjadi salah satu alasan kenapa sahabat saya sangat mencintai kehidupan... mencintai bayi-bayi dan anak-anak kecil... Wah, jadi ngelantur ke bayi...

Return to BIA... Kita mau menampilkan dunia anak-anak kita sendiri di Lingkungan Santa Theresia... Kita bangga bahwa di lingkungan kita ada wadah buat anak-anak berkumpul dan belajar bersama soal iman dan persahabatan... Di lingkungan Santher, hal demikian bukan barang baru. Nah... ada satu gambar yang bisa saya pasang dalam blog ini... Lihat, siapa saja yang ada dalam gambar... Itu gambar beberapa tahun yang lalu sewaktu Lingkungan Santher mengadakan acara Natal bersama di Wisma Kompas-Gramedia di Cipanas... Tidak disangka bahwa anak-anak yang dulu masih kecil sekarang sudah berbeda. Itulah keajaiban, kedahsyatan karya Tuhan, misteri yang memesona orang yang beriman.

Danu dan Jerry sekarang sudah jadi putra altar... dibimbing (Monsignor) Leo yang memang jadi salah satu pakar untuk putra altar di Wilayah Santo Petrus... Anak-anak yang lain juga sekarang sudah tumbuh menjadi anak-anak yang smart... Olga malah sudah duduk di bangku SMP. Eh.. kenal dengan wajah-wajah pembimbing beberapa tahun yang lalu? Lha sekarang ini pengelolanya sudah berganti walaupun ibu-ibu yang lain juga tetap selalu bekerja sama dan saling membantu.
Bu Ispranta dan kawan-kawan, kalau ada foto-foto kegiatan BIA yang bagus untuk dipasang di blog, yuuk kirim lewat email atau serahkan ke saya. Siap-siap untuk liputan Natal anak-anak tahun ini nggih...

(Thomas A. Sutadi)

Monday 1 December 2008

PS. SANTHER GOES CATHEDRAL

Sejak bertugas dalam misa tanggal 16 November di Katedral, ada rasa percaya diri yang lebih besar dalam diri Koor Santher. Nah... Minggu 30 November 2008 Koor Santher bertugas dalam perayaan ekaristi di Gereja St Ignatius Semplak. Kali ini teman-teman Exultate ikut terlibat membantu... sehingga bangku koor penuh sesak... dan suara koor biasa lebih kuat dan besar. Santher sangat berterima kasih kepada rekan-rekan Exultate dan juga secara khusus kepada Sheila yang membantu mengiringi dengan organ. Seperti biasa, kita juga meminta bantuan keluarga Bapak Nurwiyono... namun hanya Pak Nur yang bisa membantu di koor karena Bu Nur dan Kris bertugas sebagai tata laksana dan tata tertib.

Minggu malam, 30 November 2008, bertempat di rumah Bapak M. Padmanaba koor Santher mengadakan latihan spesial untuk festival Sabtu 6 Januari nanti. Rasa percaya diri tetap besar dalam menghadapi festival. Kata rekan-rekan, tidak penting apakah nanti dapat nomor atau tidak... yang penting bisa tampil keren abis dengan seragam baru... Selama lebih dari 1 jam, Koor Santher berlatih berjalan masuk panggung, membuka teks, menyanyi, menutup teks, berjalan keluar panggung dan lain-lain. Suasananya benar-benar akrab dan penuh canda ria... Bu Erly siap menjadi dirigen... dengan gerakan tangannya yang gemulai... siap memberi aba-aba untuk lagu wajib AGNUS DEI (Misa de Angelis – PS. 408) dan lagu pilihan NUBUAT NABI... Dalam festival nanti Koor Santher akan diiringi oleh Marsella Sheila Gunawan... Direncanakan pada Jumat, 5 Desember akan ada gladi bersih lagi di rumah Pak Totok.

Umat Santher, mari kita dukung penampilan koor kita Sabtu, 6 Desember 2008 ini. Proficiat!!!

THANK YOU, JESUS, I AM HOME

Kata Pengantar:
Tulisan ini saya ambil dari sebuah lampiran email yang dikirim kepada saya oleh FX Kabrini Y. Suryanita di Bogor. Semoga bermanfaat buat umat Santa Theresia Bogor Raya Permai.
(Thomas A. Sutadi)


Thank You, Jesus, I am Home.
Oleh Maria N. Brwonell

Sekilas mengenai saya
Nama saya adalah Maria Natalia Brownell (nama saya sebelum menikah: Maria Natalia Budiman). Saya lahir dan dibesarkan dalam keluarga Katolik. Sedari kecil, saya sudah tertarik untuk aktif di gereja Katolik. Saya sering ikut koor gereja, menjadi pengantar, dan cukup aktif di kegiatan Mudika. Walaupun demikian, kegiatan yang saya ikuti jarang yang bersifat pendalaman iman. Di sekolah Katolik, memang saya mendapat pelajaran agama Katolik, tetapi sifatnya sangat mendasar. Misalnya, saya tidak pernah diajar untuk membaca dan mengerti Alkitab, saya kurang mengerti akan pentingnya doa dan devosi terhadap bunda Maria dan santo/santa, banyak hal di perayaan Misa kudus yang bagi saya adalah ritualitas biasa (tanpa mengerti akan artinya). Kurangnya pengertian saya terhadap iman Katolik membuat saya pergi ke gereja Katolik hanya karena 'memang begitulah seharusnya', bukan karena didasarkan atas motivasi hati dan keinginan saya untuk lebih dekat dengan Tuhan.

Waktu saya di SMA, saya bertanya-tanya terhadap diri saya sendiri. Sepertinya semua orang itu melalui pola hidup yang sama: sekolah, bekerja, menikah, berkeluarga, pensiun, lalu meninggal. Sepertinya sangat monoton dan membosankan. Saya lalu bertanya, apakah ada arti kehidupan yang lebih dalam daripada hanya mengikuti pola yang monoton begitu saja? Kenapa Tuhan menghendaki saya untuk hidup di dunia ini? Saya berharap suatu saat saya dapat menjawab pertanyaan ini…

Kegiatan saya sewaktu di SMA sangat banyak, terutama di kelas III karena persiapan untuk masuk Universitas. Waktu itu, saya ingin sekali bersekolah di luar negeri. Walaupun mulanya berat bagi orang tua saya mengijinkan anak perempuan satu-satunya untuk pergi ke luar negeri pada umur 17 tahun, mereka akhirnya mengijinkan saya pergi juga. Waktu itu $1 masih seharga Rp 2000, tidak semahal sekarang. Walaupun mereka hanya bisa menjanjikan untuk menyekolahkan saya selama 2 tahun pertama, saya tetap nekat untuk pergi. Saya memutuskan untuk mengambil bidang Tehnik Kimia di Oregon State University, Amerika. Satu tahun kemudian, saya pindah ke University of Wisconsin, Madison, Wisconsin.

Kehidupan saya di Amerika
Di Madison, Universitasnya besar sekali, dan jauh lebih sulit daripada di Oregon. Untungnya banyak anak Indonesia yang bersekolah di sana. Saya mencoba untuk lebih ikut aktif di kegiatan Mudika. Alasan utamanya adalah karena ingin mendalami iman saya lebih lanjut. Jauh dari keluarga membuat saya lebih terpanggil untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Di Mudika, saya mengusulkan untuk belajar Alkitab, tetapi anak-anak Mudika semuanya protes. Mereka mengatakan bahwa mereka sudah capai belajar selama seminggu, dan mereka hanya mau berkumpul untuk bersosialisasi saja. Belajar Alkitab sifatnya terlalu serius. Walaupun tidak setuju, saya diam saja dan tidak memaksakan kehendak saya. Saya merasa seperti minoritas di kelompok Mudika itu, walaupun kita pergi ke gereja yang sama.

Perasaan seperti minoritas ini membuat saya mencari tahu kelompok anak Indonesia yang lain: ICF / Indonesian Christian Fellowship (Persekutuan Kristen Indonesia). Ini adalah kelompok mahasiswa Protestan. Waktu saya datang pertama kali, saya disambut dengan hangat. Pertemuannya dibuka dengan menyanyi pujian, kesaksian iman, dan presentasi dari speaker mengenai Alkitab. Saya sangat menikmati pertemuan ICF ini. Saya merasakan persahabatan dalam iman yang begitu kuat dan murni. Walaupun saya anak baru, saya sudah merasa seperti bagian dari keluarga besar ICF. Saya tidak pernah merasa bersalah mengikuti kegiatan ICF, karena bagi saya yang penting adalah saya menjadi lebih dekat dengan Tuhan. Walaupun ICF adalah kelompok Protestan, saat itu saya merasa kita mempunyai Tuhan yang sama, dan iman Kristiani yang sama.

Membaca dan merenungkan firman Tuhan menjadi sumber kekuatan saya, yang menemani saya dalam kesendirian. Saya seperti menemukan air kehidupan baru yang menyegarkan kehidupan saya. Tidak pernah sebelumnya saya merasakan firman Tuhan begitu hidup dan mengena. Seperti orang sedang jatuh cinta, saya merasa jatuh cinta kepada Tuhan untuk pertama kalinya dalam hidup saya.

Sedikit demi sedikit saya mulai bisa menjawab pertanyaan saya waktu di SMA dulu, bahwa tujuan hidup saya adalah hidup bersama dengan Tuhan di Surga nantinya. Kehidupan saya di dunia ini adalah masa persiapan saya untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Ajaran Protestan sangat menitik beratkan pada 'lahir baru' dan 'keselamatan di Surga'. Saya yakin bahwa saat itu apabila saya meninggal, saya akan langsung masuk ke Surga.

Keterlibatan saya dalam kelompok ICF berkembang dari sekedar hadir di pertemuan menjadi anggota kursus kepemimpinan Kristen, pemimpin group 'bible study' (pendalaman Alkitab), 'elder' (pemimpin) bagian evangelisasi, koordinator beberapa perayaan kampus, ikut serta dalam kelompok missionaris ke Guadalajara (Mexico) dan aktif terlibat dalam konferensi kelompok-kelompok ICF di Amerika.

Saya menjadi Protestan
Saat itu, saya sangat yakin bahwa yang terpenting adalah hubungan langsung saya dengan Bapa, Kristus dan Roh Kudus. Hal ini membuat saya semakin yakin, saat itu, bahwa banyak tradisi di Gereja Katolik yang sebenarnya 'tidak perlu'; seperti penghormatan kepada Bunda Maria, santo/santa, otoritas Paus sebagai pemimpin gereja, pengakuan dosa terhadap pastor, tradisi dan simbol-simbol di gereja dll. Di samping itu, orang-orang Protestan juga saya nilai lebih serius terhadap iman Kristiani daripada orang-orang Katolik.

Saya juga sangat tersentuh dengan Kebaktian di gereja Protestan; dengan lagu-lagu yang indah, dan pendalaman Alkitab yang sangat mengena. Saat itu saya merasa gereja Protestan begitu 'hidup' dengan musik, doa, dan firman Tuhan; dan saya melihat Gereja Katolik begitu penuh ritual, sulit dimengerti dan tidak bisa menjamah hati saya. Tanpa saya sadari, sedikit demi sedikit saya semakin meninggalkan Gereja Katolik. Mulai dari hanya sekedar sesekali datang ke gereja Protestan (inter-denominasi), menjadi anggota tetap gereja Protestan. Saya begitu terlibat di kelompok Protestan ini, sampai ingin menjadi seorang misionaris. Saya begitu mencintai Tuhan dan menginginkan banyak orang mengenal dan mencintai Tuhan seperti yang saya alami.

Orang tua dan keluarga saya sangat menyesali keputusan yang saya ambil untuk pindah ke gereja Protestan. Mereka mencoba untuk memengaruhi saya, tetapi selalu berakhir dengan perdebatan dan sakit hati. Ayah saya berkomentar "Lia, kamu sudah diajar di Gereja Katolik yang dimulai oleh Kristus, dan diteruskan oleh Petrus, rasul Kristus yang langsung diajar oleh Kristus sendiri, kenapa kamu masih pergi ke gereja lain?" Saya langsung menjawab dengan bersemangat, "Tetapi gereja Protestan bisa membuat saya lebih dekat dengan Tuhan, saya lebih mengerti akan Alkitab…..". Perdebatan ini biasanya diakhiri oleh saya mengutip ayat Alkitab, dan orangtua saya tidak bisa menjawab lebih lanjut. Saya ingat bahwa hal ini membuat mereka sangat sedih dan menyesal. Akhirnya, orangtua saya hanya bisa berdoa agar suatu hari saya bisa kembali ke gereja Katolik.

Tanpa terasa, sudah hampir 5 tahun lamanya saya menjadi anggota gereja Protestan. Selama studi saya di universitas, saya pernah kerja magang di Detroit (Michigan), dan mengambil Summer school di Houston (Texas). Di tempat yang berbeda ini, saya juga pindah ke gereja Protestan yang berbeda denominasinya. Di Detroit, saya pergi ke Gereja Baptis, di Houston saya pergi ke Gereja Pantekosta. Di tahun 1997, saya ditawarkan untuk bekerja di South Carolina. Saya pun pindah ke Gereja 'Southern Baptist'. Saya tidak tahu bagaimana caranya memilih suatu denominasi tertentu. Waktu saya tanya ke penasehat gereja saya yang dulu, dia hanya bisa menjawab, "Cari gereja yang cocok di hatimu dan bisa membuat kamu merasa senang".

Perjalanan pulang ke Roma
Di tahun 1996, Tuhan mempertemukan saya dengan calon suami saya: Kyle Brownell. Dia adalah seorang Amerika, dan seorang Katolik. Hampir semua teman Protestan saya tidak setuju akan hubungan saya dengan Kyle. Mereka mengganggap bahwa orang Katolik itu bukan 'orang percaya', sehingga harus diinjili. Saat itu saya pikir bahwa saya akan dipakai Tuhan untuk mengubahnya menjadi seorang Protestan, terutama karena dia (seperti banyak orang Katolik yang saya kenal) tidak begitu mengerti akan iman Katoliknya.

Saya sangat yakin bahwa dalam waktu beberapa tahun, Kyle akan menjadi Protestan seperti saya. Tidak pernah saya bayangkan, bahwa ternyata saya keliru. Tuhan mempunyai rencana yang lain bagi kehidupan iman saya.
Tinggal di South Carolina dengan lingkungan yang baru, jauh dari teman-teman ICF-Madison membuat saya merenung…. Untuk pertama kalinya saya bertanya-tanya di dalam hati, kenapa setiap saya pindah tempat, saya harus mencari gereja Protestan yang baru? Sebenarnya gereja Protestan mana yang lebih benar? Di Amerika sendiri gereja Protestan terdiri dari sekitar 20.000 denominasi. Semuanya menganggap denominasi-nya adalah yang benar, yang diinspirasikan langsung dari Roh Kudus. Kalau benar semuanya dari Roh Kudus, dan hanya ada satu Roh Kudus, kenapa ada 20.000 denominasi yang berbeda? Apakah cara orang memilih denominasi hanya didasarkan akan 'feeling good' (perasaan cocok/senang) saja? Apakah ada arti yang lebih mendalam daripada hanya sekedar 'feeling good'? Saya bertekat bahwa saya harus memutuskan untuk yang terakhir kalinya, gereja mana yang saya pilih. Kali ini saya harus benar-benar mengerti mengapa saya memilih gereja tersebut, dan bukan hanya sekedar 'feeling good' belaka.

Hal lain yang membuat saya bertanya-tanya akan pengertian iman Protestan, adalah bahwa setelah seseorang "menerima Tuhan Yesus di dalam hati", seseorang langsung dijamin masuk surga. Walaupun dia melakukan dosa apapun selanjutnya, kekudusan Kristus akan menyelimuti hati orang tersebut. Dengan kata lain, seseorang akan tetap langsung masuk ke Surga kalau dia meninggal, walaupun dia tercemar akan dosa dan hidup dalam kegelapan, karena Kristus akan menyelimutinya dengan kekudusanNya. Kalau memang begitu, saya berpikir, apa alasan kita untuk menjadi lebih baik, menyucikan diri dan menjadi kudus? Di Alkitab jelas ditulis bahwa hanya orang kudus yang bisa masuk surga, bukan orang yang 'diselimuti' oleh kekudusan Kristus.

Rasul Yakobus menulis secara jelas bahwa "Iman tanpa perbuatan adalah mati" (Yak 2:17, 26). Kalau begitu tidak cukup bahwa kita hanya mempunyai iman saja, tanpa disertai perbuatan. Perbuatan harus mengikuti iman, harus ada buah-buah iman yang terlihat lebih dari sekedar janji atau perkataan saja. Waktu saya tanyakan hal ini kepada pendeta/penasihat Protestan, mereka mengatakan bahwa apabila seorang yang 'lahir baru' tidak menunjukkan perbuatan pertobatan, artinya dia tidak benar-benar diselamatkan. Tetapi, bagaimana gereja Protestan bisa dengan yakin mengatakan bahwa seseorang selamat atau tidak hanya berdasarkan pada pertanyaan, "Apakah kamu menerima Tuhan Yesus di dalam hatimu?" Bukankah keyakinan ini hanya berdasarkan iman saja? Saya melihat adanya pandangan yang tidak konsisten dari pernyataan iman Protestan ini.

Gereja Protestan tidak memberikan penghormatan khusus kepada Bunda Maria. Maria hanya sekedar diakui sebagai bunda Yesus. Menghormati Bunda Maria dianggap sebagai pemujaan berhala. Apalagi pernyataan "Bunda Maria dikandung tanpa dosa". Ini dianggap sebagai pernyataan salah, karena di Alkitab ditulis semua orang jatuh ke dalam dosa (Rom 3:23). Ajaran Protestan akan Bunda Maria ini membuat saya bertanya-tanya.

Bagaimana gereja Protestan menanggapi penampakan Bunda Maria yang terbukti terjadi di beberapa tempat di dunia, tentang banyak mukjijat yang terjadi sehubungan dengan penampakkan tersebut, dan dampak penampakan itu terhadap pertobatan jutaan orangyang kembali kepada Tuhan? Lalu bagaimana gereja Protestan mengartikan santo/santa yang telah meninggal ratusan tahun yang lalu, dan tubuhnya tetap utuh tidak berubah?

Gereja Protestan juga mengartikan bahwa roti dan anggur yang diterima waktu di kebaktian, adalah simbol belaka untuk mengenang Kristus, tanpa ada arti yang lebih lanjut. Hal inipun membuat saya bertanya, bagaimana gereja Protestan mengartikan ayat Alkitab "Barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui Tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya" (1 Kor 11:29). Juga dalam kitab Rasul Yohanes setelah mereka mendengar Yesus mengajarkan hal Roti Hidup, banyak yang pergi meninggalkan-Nya (lih. Yoh 6:66), justru karena kesungguhan Yesus tentang hal ini. Apabila benar bahwa roti dan anggur hanya simbol biasa, mengapa menimbulkan akibat sampai sedemikian? Lalu bagaimana dengan banyak mukjijat yang terjadi sebubungan dengan 'hosti' kudus, yang buktinya masih dapat ditemukan saat ini? Sepertinya, saya berpikir, ada arti yang lebih daripada hanya sekedar simbol roti-anggur belaka.
Semua pertanyaan ini membuat saya mulai ragu akan 'KEUTUHAN' iman Kristiani yang dipercayai oleh gereja Protestan. Hal ini membuat hati saya tidak damai. Sepertinya ada perdebatan di dalam hati saya, karena jawaban yang saya terima tidak memuaskan.

Entah bagaimana, saya ingin berdoa dan menyembah Kristus dalam kedamaian. Saya tidak perduli lagi akan musik yang meriah, atau kotbah yang bersemangat. Yang saya butuhkan adalah kedamaian dan kebenaran yang utuh. Saya ingin merenungi kehidupan Kristus secara keseluruhan, termasuk kerendahan hati-Nya waktu membasuh kaki para murid-Nya dan sengsara-Nya di kayu salib. Di gereja Protestan, tidak ada upacara Kamis Putih atau Jumat Agung, mereka hanya merayakan Paskah.

Di manapun saya berada, saya ingin pergi ke rumah Tuhan yang sama, yang percaya akan iman yang sama. Saya rindu akan gereja yang bisa menjawab pertanyaan saya di atas bukan dengan perdebatan, tetapi dengan pengertian yang utuh dan tidak mempertentangkan ayat yang satu dengan ayat yang lain. "Tuhan, mohon tunjukkan, saya harus ke gereja yang mana? Saya ingin ke gereja yang Engkau dirikan…"

Gereja Katolik mempunyai jawaban
Suatu hari, hal yang luar biasa terjadi dalam hidup saya. Sepertinya ada suara yang begitu lembut dalam hati saya memanggil saya untuk berdoa di Misa Gereja Katolik. Hal ini sangat aneh sekali bagi saya, karena saat itu sudah sekitar 6 tahun saya meninggalkan Gereja Katolik. Ikut dalam perayaan Ekaristi kudus yang pertama kali setelah sekian lama memberikan kesan yang lain dalam hati saya. Fokus dari Misa adalah Kristus, Anak Domba Allah. Saat inilah saya akhirnya dapat berdoa dengan damai dan menyatukan hati dengan pengorbanan Kristus. Di atas semua itu, …..bukan musik yang meriah, kotbah yang mengesankan, atau perasaan saya yang terpenting, tetapi kehadiran Yesus sendiri yang saya rindukan. Saya tidak dapat menjelaskan, tetapi saat itu untuk pertama kalinya saya merasa sangat rindu untuk menerima Tubuh Kristus di dalam Komuni kudus, sesuatu perasaan kehilangan yang belum pernah saya rasakan sebelumnya. Suara yang lembut itu sepertinya memanggil saya untuk tidak meninggalkan Gereja Katolik. Sepertinya tidak adil, saya pikir, kalau saya memutuskan untuk meninggalkan Gereja Katolik tanpa benar-benar mengerti ajaran Gereja Katolik yang sebenarnya. Saya bertekat untuk mempelajari iman Katolik dengan lebih dalam, sesuatu yang belum pernah saya lakukan sebelumnya.

Tuhan mempertemukan saya dengan pasangan suami-istri yang juga sedang ingin mendalami iman Katolik seperti saya. Mereka mengajak saya untuk belajar bersama dari buku-buku "Dr. Scott Hahn", seorang teolog Protestan ternama yang akhirnya menjadi Katolik. Dengan pengetahuan Alkitab yang sangat mendalam, Dr. Scott Hahn benar-benar menjawab pertanyaan saya dengan begitu jelas dan masuk akal. Selain Dr. Scott Hahn, kami juga belajar dari Katekismus Gereja Katolik, yang mengajarkan doktrin Gereja Katolik secara utuh dan sistimatis. Belum pernah saya melihat buku doktrin gereja yang setebal itu. Di gereja Protestan, mereka hanya belajar dari Alkitab saja, atau kalau ada buku doktrin, tidak pernah ada yang setebal buku doktrin Gereja Katolik.

Dari pendalaman iman ini, saya belajar bahwa banyak sekali kesalah-pahaman tentang Gereja Katolik, yang tidak benar. Seperti contoh, Gereja Katolik banyak dipengaruhi oleh ritualitas manusia, yang tidak didasari Alkitab. Pengertian ini sangat salah sekali, sebab ternyata ajaran Gereja Katolik sangat Alkitabiah! Tetapi, karena ayat Alkitab mudah sekali untuk diinterpretasikan dari banyak sisi, Gereja Katolik juga percaya akan Tradisi Suci yang membantu menginterpretasikan ayat Alkitab dengan benar. Tradisi ini diturunkan dari Kristus kepada para rasul, Paus, uskup, dari generasi ke generasi. Hal inilah yang membuat Gereja Katolik tetap satu selama 2000 tahun lebih. Hal ini sangat masuk akal bagi saya, karena Kristus berkata kepada Petrus "Di atas batu karang ini saya akan dirikan GerejaKu", dan "Dia akan selalu beserta kita/GerejaNya sampai akhir" (Mat 16:18). Sebelum sengsaraNya, Kristus berdoa agar pengikutNya selalu bersatu. Karenanya, penting sekali bagi kita untuk mengakui otoritas dari Paus, sebagai pemimpin Gereja, dan mengikuti otoritas doktrin Gereja Katolik yang membahas iman Kristiani secara utuh, langsung diturunkan dari Kristus sendiri.

Saya sangat terkagum waktu mengetahui bahwa ajaran Katolik tidak hanya berdasarkan Alkitab, dan juga sangat utuh mengupas penyempurnaan dari Perjanjian Lama ke Perjanjian Baru. Contohnya adalah Misa Kudus sendiri. Pembagian Misa Kudus dari Liturgi Sabda and Liturgi Ekaristi berakar dari tradisi "pemecahan roti" yang dilakukan oleh rasul Kristus di Perjanjian Baru. Mereka berkumpul dan membahas ajaran Kristus dan 'memecahkan roti'. Kristus juga mengatakan bahwa "Inilah TubuhKu, dan inilah DarahKu. Lakukanlah ini sebagai kenangan akan Daku". Dia tidak mengatakan "Inilah simbol TubuhKu, dan inilah simbol DarahKu". Secara khusus, Kristus menginginkan kita untuk mengenangNya dengan melakukan perayaan Ekaristi. Suatu mukjijat terjadi saat itu, dimana roti dan anggur berubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Ini menjawab pertanyaan saya mengenai arti roti dan anggur yang lebih dari hanya sekedar simbol. "Kristus sebagai Anak Domba Allah", adalah pemenuhan tradisi umat Yahudi di Perjanjian Lama, di mana anak domba dikorbankan untuk menjadi persembahan pengampunan dosa kepada Tuhan. Kristus adalah pemenuhan janji keselamatan Allah, korban yang paling sempurna, yang menyelamatkan manusia dari dosa.

Pertanyaan saya tentang Bunda Maria pun terjawab. Bunda Maria menempati tempat khusus di dalam rencana Keselamatan Allah. Di kitab Kejadian, setelah manusia pertama jatuh dalam dosa, Bunda Maria sudah dinubuatkan, 'benih dari perempuan ini akan menjadi penyelamat dunia, dan bahwa iblis akan bertekuk lutut di kakinya" (Kej 3:15). Dan di akhir dunia, seperti disebutkan di kitab Wahyu, Bunda Maria dimahkotai di surga (Why 12: 1) yang melahirkan Sang Penyelamat. Melihat keutamaan Bunda Maria dalam rencana keselamatan Allah, membuat saya yakin bahwa dia adalah seorang kudus yang harus kita hormati, seperti Kristus sendiri menghormatinya. Waktu Bunda Maria menampakkan diri kepada santa Bernadette, dia berkata "Akulah perawan yang dikandung tanpa noda", meyakinkan saya bahwa dia sungguh tidak berdosa. Seperti Malaikat Gabriel mengatakan "Salam Maria, penuh rahmat" (Luk 1:28), mengandung makna bahwa rahmat Tuhan sendirilah yang membuatnya tanpa dosa. Apabila Tuhan dapat membuat Anak-Nya lahir dari kandungan Bunda Maria, bukankah wajar kalau Diapun dapat membuat Kristus lahir di kandungan Bunda yang suci tanpa dosa?

Pertanyaan saya tentang keselamatan pun terjawab dalam pengajaran Gereja Katolik. Gereja Katolik percaya bahwa Kristus adalah Penyelamat manusia dari dosa. Dengan percaya kepadaNya kita menerima janji keselamatan di Surga. Tetapi, keselamatan ini dapat hilang, apabila iman kita tidak diikuti perbuatan (Yak 2:17,26). Tuhan ingin kita menjadi kudus, karena tanpa kekudusan kita tidak bisa masuk ke Surga (Ibr 12:14). Kekudusan ini harus dinyatakan dengan pemurnian iman dalam perbuatan kita sehari-hari, untuk lebih mencintai dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal ini kita lihat dari para rasul dan orang kudus yang meninggal dengan mengorbankan diri untuk Tuhan. Iman mereka bukan hanya berdasarkan perkataan saja, tetapi oleh pergorbanan yang dilakukan karena kasih kepada Kristus, mengikuti teladan Kristus yang rela mati di kayu salib untuk kita. Hal ini meyakinkan saya bahwa tidak cukup kita hanya "menerima Kristus di hati kita", tetapi kita juga harus mengikuti contoh Kristus dan mencintaiNya sedemikian rupa dalam pengorbanan hidup kita sehari-hari. Karena itulah Kristus mengajarkan, "Bukan mereka yang memanggil Tuhan, Tuhan, yang akan diselamatkan, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa di surga" (Mat 7:21). Ajaran Gereja Katolik tentang keselamatan inilah adalah jawaban terakhir yang saya perlukan untuk kembali ke Gereja Katolik…

Saya merasa sungguh bahagia sekali, sekarang saya sudah 'pulang' ke rumah Tuhan di Gereja Katolik. Ke manapun, saya tidak perlu bingung pergi ke gereja yang mana, karena di manapun Gereja Katolik tetap sama.
Saya yakin bahwa Gereja Katolik ini bukan didirikan oleh orang biasa, tetapi oleh Kristus sendiri. Kristus berjanji bahwa "Gereja-Nya akan utuh sampai akhir", dan ini telah terbukti di dalam Gereja Katolik yang bertahan dari 2000 tahun yang lalu sampai sekarang.

Deep inside my heart, I leapt for joy for I could finally say, "Here, I am, Lord. I am HOME……"

Tentang Penulis
Maria Brownell (Lia) menikah dengan seorang berkebangsaan Amerika dan dikarunia tiga anak laki-laki. Bersama dengan suami, Lia telah menyelesai-kan master of theological study di Institute for Pastoral Theology - Ave Maria University, USA
.

comment this article : http://katolisitas.org/2008/11/08/thank-you-jesus-i-am-home/
Visit us at www.secapramana.net , The only Friendly Homepage that makes you feel comfortable, fresh, and peaceful
BY YOUR FAITH YOU HAVE SALVATION

Friday 21 November 2008

MEMBIARKAN CINTA DIUNGKAPKAN

Dari Jumat 14 November sampai dengan Senin 17 November yang lalu, teman saya dari Kulon Progo, Yogyakarta, bernama Yustinus Haryanto, berkunjung ke Bogor dan sempat dua malam menginap di rumah saya. Yustinus Haryanto adalah seorang guru kelas III Sekolah Dasar Pangudi Luhur Kalireja di daerah Pagerharjo, Samigaluh – Kulon Progo.

Sekolah ini sudah tidak dikelola oleh Yayasan Pangudi Luhur lagi karena jumlah muridnya sangat sedikit. Umat Katolik di Stasi Kalireja – Paroki Boro berusaha mati-matian mempertahankan sekolah ini. Dengan dana pas-pasan, umat dan pengelola sekolah (yang disebut Dewan Penyantun) berusaha membiayai dan mengelola sekolah kecil ini secara mandiri sejak tahun 1990-an yang lalu. Jumlah murid dalam satu kelas rata-rata hanya 8-14 siswa... sangat sedikit dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain di daerah itu yang gratis... dan jumlah siswanya mencapai 30-40 orang per kelas. Saya sendiri pernah mengenyam pendidikan sekolah dasar di situ ketika sekolah masih dikelola Yayasan Pangudi Luhur. Jaman saya sekolah dulu, muridnya juga paling banyak hanya 19 orang... Artinya dari dulu hingga sekolah Sekolah Dasar Pangudi Luhur memang memiliki jumlah murid yang tidak banyak. Tapi jangan dikira tidak punya prestasi loh... sampai sekarang kelulusan selalu 100% dan nilai-nilai UAN atau EBTA atau apa namanya selalu menonjol di tingkat kecamatan dan kabupaten.

Kembali ke cerita tentang rekan saya Yustinus Haryanto. Ia lulusan sebuah sekolah tinggi ilmu kependidikan di Madiun (saya lupa namanya). Ia sempat mengajar di beberapa sekolah sampai suatu ketika ia mendapati bahwa kampung halamannya telah ditinggalkan oleh banyak pemuda yang merantau ke luar daerah (seperti saya salah satunya). Yustinus memutuskan untuk pulang kampung dan mengabdi di kampung halaman.

Ia tidak langsung menjadi guru sekolah dan justru yang ia lakukan pada awalnya adalah melibatkan diri dalam bidang pertanian. Ia mengikuti pelatihan pertanian organik selama beberapa bulan di Yayasan Bina Sarana Bakti di Cisarua- Bogor yang dikelola oleh Pater Agatho Elsener. Untuk mempraktekkan pengetahuannya, ia pernah mengelola sebuah lahan pertanian organik di daerah Cicurug Sukabumi. Ia juga aktif memberikan penyuluhan di bidang pertanian organik kepada para petani di daerah Pacitan Jawa Timur dan Kulon Progo. Dua atau tiga tahun yang lalu ia diminta oleh Sekolah Dasar Pangudi Luhur untuk menjadi guru.

Kecintaanya terhadap dunia pertanian akhirnya ia tularkan kepada guru-guru, staff dan murid-muridnya. Dengan dukungan banyak pihak di kampung halaman, Sekolah Dasar Pangudi Luhur Kalireja sekarang memiliki dua proyek besar yang diharapkan akan dapat membantu kelangsungan sekolah dan membantu para orang tua siswa, dan masyarakat di sekitar sekolah dalam meningkatkan taraf pendidikan. Proyek-proyek ini dimulai 1-2 tahun yang lalu dan sekarang masih dan akan terus berjalan.

Proyek pertama adalah Proyek Kambing Etawa. Dengan dukungan banyak pihak, sekolah bisa membeli 25 ekor kambing betina dan 1 pejantan. Kambing-kambing itu dipelihara oleh partner sekolah dengan sistem “gadhon”. Partner sekolah tidak semuanya Katolik. Program ini tidak hanya untuk umat Katolik. Ingat..., di Pagerharjo, umat Katolik adalah minoritas. Sistem “gadhon” yang diterapkan juga cukup unik dan berbeda dari praktek umum. Menurut sistem sekolah, partner atau penyewa akan diberi 1 ekor kambing untuk dipelihara secara “gadhon” (share). Berdasarkan perjanjian tertulis, partner akan memelihara kambing itu hingga beranak 4 kali. Untuk setiap anak kambing yang dilahirkan, 50% harga kambing adalah milik partner dan 50% milik sekolah. Selama waktu pemeliharaan itu, kambing menjadi milik bersama sekolah dan partner. (Di dalam sistem gadhon umum, kambing selamanya milik pemilik awal, bukan milik penyewa). Sesudah 4 kali beranak, kambing dapat diserahkan kembali ke sekolah tetapi karena kambing itu 50% menjadi milik partner, sekolah akan membayar 50% harganya kepada partner. Kalau partner tetap mau memelihara lagi, perjanjian tertulis dibuat lagi. Untuk dapat membiayai sekolah secara sehat, dibutuhkan 200 kambing etawa... kebutuhan yaang sangat besar.

Proyek kedua adalah Proyek Pertanian Organik. Berangkat dari keprihatinan sekolah bahwa pertanian sudah mulai ditinggalkan oleh anak-anak dan kaum muda, sekolah ingin mengakrabkan para muridnya dengan dunia pertanian yang secara realita ada di sekelilingnya. Kini, dengan bantuan para donatur dan Gereja, sekolah dapat memiliki lahan pertanian sendiri. Untuk tahap awal, sekolah membeli lahan 1000 meter sebagai tempat latihan bagi para siswa, para orang tua, komite sekolah dan masyarakat umum. Untuk tahap selanjutnya, sekolah akan memperluas lahan sehingga proyek ini dapat berproduksi dan memberi manfaat bagi sekolah, para murid, para orang tua dan masyarakat sekitar.

Kembali ke cerita tentang rekan saya Yustinus Haryanto. Sejak Selasa 11 November lalu ia membawa satu orang rekan dari Kalireja yang ia persiapkan untuk menangani pertanian organik di sekolah. Yustinus dan rekannya mengikuti pelatihan selama 4 hari di Cisarua. Kedua orang itu bukan orang baru di bidang pertanian organik; jadi empat hari tidak terlalu singkat. Yustinus berharap bahwa rekannya nanti dapat menjadi pengelola kebun sekolah dan menjadi pendamping pelatihan-pelatihan pertanian organik di sekolah.

Setelah beberapa hari mengikuti pelatihan, Yustinus pergi mengunjungi teman-temannya di Bogor sedangkan temannya langsung pulang ke Kulon Progo. Yustinus juga mengunjungi beberapa orang yang pernah bekerja sama dengan dia di bidang pertanian organik di Sukabumi dan Bogor. Hari Senin, 17 November yang lalu saya antar Yustinus ke agen bus di Warung Jambu Bogor, Pukul 14.10 ia berangkat pulang dengan bus Sumber Alam AC.

Terus terang, saya kagum pada rekan saya Yustinus. Ia orang yang low-profile. Bisa dibilang ia pelit bicara tentang dirinya. Ada banyak gagasan besar di kepalanya dan ia hanya mau mengungkapkannya kepada orang yang ia anggap dapat menangkapnya. Bagi saya, cerita-cerita dan gagasan-gagasannya di bidang pendidikan dan pertanian sungguh dahsyat. Di kampung halaman sekarang, banyak orang mengikuti jejaknya: menanam bibit-bibit tanaman sayuran dan buah-buahan serta bibit tanaman keras. Apa yang ia lakukan sepertinya selalu menjadi inspirasi bagi banyak orang. Dulu ketika ia masih mahasiswa dan sebelum terjun di bidang pertanian, ia adalah juga seorang penulis aktif. Tulisan-tulisannya dulu biasa muncul di beberapa buletin sosial yang terbit di Surabaya, misalnya majalah bulanan BUSOS. Ia memang punya bakat menulis. Kalau kirim surat pada saya, biasanya ia menghabiskan sekitar 4 halaman, itu pun banyak kata sudah ia singkat.

Di bawah ini adalah cerita dari Yustinus yang dia kirimkan lewat 2 buah SMS hari Rabu, 19 November yang lalu. Ia bercerita tentang saat ia tiba di kampung dan bagaimana murid-murid menyambut guru mereka yang telah absen mengajar selama 7 hari. Tentu saja SMS ini sudah saya tulis ulang karena SMSnya penuh dengan singkatan.

“Ada cerita ungkapan cinta anak kepada guru, bukan pertama karena aku guru mereka, melainkan bagaimana anak punya cara sendiri mengungkapkan cinta dan hormat itu bagi yang mereka hormati...

Bermula saat aku pulang, ngojek dari Plono ke rumah. Aku berpapasan dengan seorang muridku. Sampai di rumah aku beres-beres bawaan, mandi dan siap-siap pergi ke sekolah. Ternyata ada 4 anak yang menjemput aku. Mereka bilang sedang membuat kejutan untukku di kelas. Aku berangkat bersama mereka sambil bercerita banyak hal. Saat dekat sekolah, dua anak berlari mendahului aku. Tak lama kemudian datang seluruh isi kelas untuk menjemput aku, menyalami aku dengan riang. Saat aku mau masuk kelas, aku dilarang mereka karena kejutannya belum selesai. Akun tunggu di kantor.

Aku dijaga sampai ada yang memberi tahu bahwa semua sudah selesai. Saat dekat kelas, aku diminta untuk tutup mata. Aku ikuti. Apa yang terjadi? Begitu sampai di kelas aku dilempari potongan-potongan kertas kecil banyak sekali. Papan tulis digambari dan ditulisi ucapan selamat datang. Di meja guru ada banyak kertas selebar buku tulis berisi gambar dan tulisan-tulisan selamat datang. Hari yang menyenangkan!!! Satu potong kertas karya satu anak. Bentuk tulisan dan hiasan yang menyenangkan. Ternyata sebelum mereka melakukan itu semua, mereka telah minta ijin dulu ke guru yang ada untuk membuat acara itu. Ini luar biasa.

Daripada mengajari cinta, ternyata lebih mudah membiarkan cinta diungkapkan.”
(SMS Rabu, 19 November 2008 pk. 6.43)
(PS: Kalau ada warga Santher yang berkeinginan membantu sekolah ini baik secara financial maupun material, silakan menghubungi mereka lewat email sdpl_kalireja@yahoo.com )
Thomas A. Sutadi

Wednesday 19 November 2008

TANDA WEWENANG USKUP

oleh: P. William P. Saunders*

Seorang teman non-Katolik menemani saya menghadiri upacara pentahbisan. Ia bertanya mengapa uskup mengenakan apa yang ia kenakan - topi khusus dan tongkat; saya juga tidak mengerti. Mohon penjelasan
~ seorang pembaca di Falls Church

Uskup mengenakan tanda wewenang khusus yang merupakan ciri khas jabatan Uskup, kepenuhan Sakramen Imamat, yaitu: salib dada, cincin uskup, mitra, tongkat uskup dan, khusus uskup agung, pallium.

Tanda wewenang umum yang menyatakan jabatan uskup adalah salib dada dan cincin uskup. Salib dada (= pektoral, dari “crux pectoralis”) dikenakan oleh Bapa Suci, para kardinal, para uskup dan para abbas (= pemimpin biara pria). Salib dada digantungkan pada seuntai kalung (atau tali) dan dikenakan di dada, dekat jantung. Di masa-masa silam, dalam salib dada terdapat sepotong reliqui dari Salib Asli, atau reliqui seorang kudus. Walau tidak dalam semua salib dada pada masa sekarang didapati reliqui, namun tradisi terus berlanjut. Yang menarik, pada tahun 1889, Tahta Suci menganjurkan agar salib dada dari seorang uskup yang telah wafat, yang di dalamnya terdapat reliqui dari Salib Asli, hendaknya diwariskan kepada penerusnya. Ketika mengenakan salib dada, seturut tradisi uskup mengatakan, “Munire me digneris,” mohon pada Tuhan kekuatan serta perlindungan terhadap segala yang jahat dan terhadap segala musuh, dan agar Sengsara dan Salib-Nya senantiasa tertanam dalam benaknya.

Para uskup juga mengenakan cincin uskup. Di masa lampau, diadakan pembedaan antara cincin kepausan (yang bertahtakan batu permata, menurut tradisi batu amethyst berwarna ungu / lembayung) dan cincin uskup (yang di atasnya terukir lambang keuskupannya atau gambar lain). Cincin uskup, seperti ikatan perkawinan, melambangkan bahwa uskup “dikawinkan” dengan keuskupannya. Juga, cincin uskup akan dipergunakan, setidak-tidaknya di masa lampau, untuk membuat cap meterai uskup di atas lilin panas pada dokumen-dokumen resmi. Lagipula, dalam tradisi Katolik, menghormati atau “mencium” cincin uskup, sebagai ungkapan rasa hormat atas kuasanya, dipandang pantas; yang menarik, indulgensi sebagian diberikan bagi mereka yang melakukannya.

Tanda wewenang lainnya - mitra, tongkat uskup dan pallium - dipergunakan dalam upacara-upacara liturgi. Mitra adalah “hiasan kepala”. Kata `mitra' berasal dari bahasa Yunani `mitra' yang artinya serban atau mahkota. Dalam Perjanjian Lama, para imam besar dan imam lainnya mengenakan busana khas termasuk mitra: “Dibuat merekalah kemeja dari lenan halus, buatan tukang tenun, untuk Harun dan anak-anaknya, serban dari lenan halus, destar yang indah dari lenan halus, celana lenan dari lenan halus yang dipintal benangnya, dan ikat pinggang dari lenan halus yang dipintal benangnya, kain ungu tua, kain ungu muda dan kain kirmizi, dari tenunan yang berwarna-warna--seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Musa. Dibuat merekalah patam, jamang yang kudus dari emas murni, dan pada jamang itu dituliskan tulisan, diukirkan seperti meterai: Kudus bagi TUHAN. Dipasang merekalah pada patam itu tali ungu tua untuk mengikatkan patam itu pada serbannya, di sebelah atas--seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Musa,” (Kel 39:27-31; bdk. Im 8:7-9).

Sulit dikatakan kapan tepatnya Gereja mengambil mitra sebagai bagian busana uskup. Suatu tradisi mengatakan bahwa penggunaan mitra berasal dari jaman para rasul; tradisi lainnya mengatakan bahwa penggunaannya yang pertama kali adalah sekitar abad keenam atau kesembilan. Tentu saja, para seniman merasa bebas untuk melukiskan para rasul dan para santo yang juga seorang uskup dari masa silam dengan mengenakan mitra. Tulisan pertama mengenai mitra ditemukan dalam sebuah bulla yang diterbitkan oleh Paus Leo IX pada tahun 1049, ketika ia menganugerahkan kepada Uskup Eberhard dari Trier “Mitra Romawi” sebagai lambang kuasa dan primatnya atas Keuskupan Trier. Pada tahun 1100, para uskup pada umumnya mengenakan mitra.

Dalam Ritus Latin, awalnya mitra adalah ikat kepala dengan tudung, dan lama-kelamaan muncul seperti bentuknya yang sekarang, yaitu segitiga dengan ujungnya yang lancip di atas, dengan dua infulae (dua pita tergantung di belakang). Sebagian beranggapan bahwa pita ini berasal dari pita peluh yang biasa dikenakan seorang atlit Yunani, yang dibalutkan sekeliling kepala dan diikatkan di belakang kepala dalam suatu simpul dan kedua ujungnya tergantung ke bawah. Karena atlit pemenang dimahkotai dengan mahkota kemenangan, keseluruhan hiasan kepala itu segera dipandang sebagai lambang kemenangan. Mitra mendapat arti simbolik serupa yang berasal dari analogi St Paulus, “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran …” (2 Tim 4:7-8). Tentu saja, uskup memang wajib memimpin kawanannya dalam pertandingan keselamatan untuk mencapai garis akhir kemenangan di surga.

Selama berabad-abad, mitra diperpanjang atau diperindah sesuai jamannya. Sebagai contoh, selama masa dekoratif (baroque period, sekitar abad 17-18), mitra dibuat tinggi dan dihiasi batu permata. [Di samping mitra, ada juga Soli Deo, yaitu topi kecil ungu yang lazim dikenakan uskup.] Dalam Ritus Timur, para uskup mereka mengenakan mitra yang seperti topi bundar berhias dengan salib di atasnya.

Tongkat uskup (baculis pastoralis) melambangkan peran uskup sebagai Gembala Yang Baik. Kata yang diterjemahkan sebagai “baik”, dalam teks bahasa Yunaninya yang asli adalah `kalos', yang juga berarti `teladan'. Yesus Kristus adalah gembala teladan bagi para rasul dan para penerus mereka, yakni para uskup, yang ditunjuk sebagai para gembala. Seorang uskup, sama seperti gembala yang baik, haruslah memimpin kawanan umat beriman sepanjang jalan keselamatan, membimbing serta melindungi mereka seperti yang dibutuhkan. Sebab itu, tongkat gembala merupakan simbol yang paling tepat bagi jabatan uskup. St Isidorus menjelaskan bahwa seorang uskup yang baru ditahbiskan menerima tongkat uskup “agar ia dapat memimpin serta membimbing mereka yang dipercayakan kepadanya atau agar memberikan dukungan kepada yang terlemah dari antara yang lemah.” Sejak jaman Paus Paulus VI, tongkat Bapa Suci memiliki salib di atasnya, melambangkan jabatannya yang istimewa, bukan saja sebagai Uskup Roma, melainkan juga sebagai Vicar Kristus yang telah diserahi kepercayaan untuk memimpin Gereja universal.

Yang terakhir, Bapa Suci, para Uskup Agung Metropolit dan Patriark Yerusalem juga mengenakan pallium. (Uskup Agung Metropolit adalah uskup yang sesungguhnya memimpin suatu keuskupan agung dan mengepalai suatu propinsi gerejawi.) Pallium adalah kain putih yang terbuat dari bulu domba, dihiasi dengan enam salib hitam, dikenakan sekeliling leher seperti kolar, di atas kasula, dengan dua bagian yang tergantung: satu tergantung di depan dan satu tergantung di belakang. Pada awal kekristenan, pallium panjangnya sekitar 12 kaki dan dikenakan untuk menghangatkan badan. Umat Kristiani mengambil bentuk ini dan menganggapnya sebagai lambang iman kepada Kristus. Penggunaan pallium mengalami perkembangan seiring perkembangan jaman. Pada abad ketiga, pallium dikenakan baik oleh kaum awam maupun kaum klerus; pada abad keempat, dikenakan oleh paus dan akhirnya hanya beliau seorang yang mengenakannya secara eksklusif; pada abad kelima, pallium dikenakan oleh paus dan para klerus penting yang menerimanya sebagai hadiah dari paus; pada abad kesembilan, pallium dikenakan secara eksklusif oleh paus, para uskup agung metropolit dan uskup-uskup tertentu sebagai tanda kehormatan; dan sesuai dekrit tahun 1978, pallium dikenakan oleh para uskup agung metropolit dan Patriark Yerusalem, juga paus.

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: The Bishop's Regalia” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2003 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”