Thursday 14 May 2009

MENYAMBUT HARI KOMUNIKASI SOSIAL SEDUNIA KE-43

Hari Komunikasi Sosial Sedunia tahun 2009 ini ditetapkan jatuh pada Minggu, 24 Mei 2009. Tema Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-43 tahun 2009 ini adalah:
“Teknologi Baru, Relasi Baru: Memajukan Budaya Menghormati, Dialog dan Persahabatan”.

Bapa Suci Benedictus XVI dalam pesannya mengatakan, “Teknologi baru sesungguhnya merupakan anugerah bagi umat manusia dan kita mesti memberikan jaminan bahwa manfaat yang dimilikinya tentu dipergunakan untuk melayani semua manusia secara pribadi dan komunitas, teristimewa mereka yang kurang beruntung dan menderita.”

Bapa Suci menegaskan bahwa penggunaan alat-alat komunikasi seperti telepon dan internet dan jaringan sosial digital seharusnya diarahkan untuk kepentingan memajukan budaya menghormati, dialog dan persahabatan. Hal ini menjadi bermakna karena pada dasarnya semua sarana komunikasi tersebut digunakan dalam rangka pewartaan Injil dalam dunia modern.

Kini, kita yang hidup di jaman digital dapat mempergunakan teknologi digital untuk pewartaan dan kebaikan umat manusia. Namun kita juga punya kewajiban untuk menggunakan semua itu secara bertanggung jawab. Berbagai sarana seperti telepon, radio, internet, email, jejaring sosial dan blog, website dan media masa... semua dapat digunakan sebagai alat untuk kebaikan manusia dan dunia.

Terhadap ekses dari kemajuan teknologi komunikasi, semua orang yang terlibat dalam perancangan, penyiapan, pelaksanaan dan penggunakan teknologi digital harus bertanggungjawab terhadap “benua digital” ini agar semua teknologi baru dapat sungguh memajukan budaya menghormati, budaya dialog dan persahabatan.

Monday 11 May 2009

TUGAS KOOR SANTHER DI KATEDRAL 10 MEI 2009


Minggu, 10 Mei 2009, Pk. 7.00
Hari ini Koor Santher bertugas untuk ke sekian kalinya di Katedral Bogor.
Misa Minggu Paskah ke-5, Tahun B, berlangsung dengan lancar, dipersembahkan oleh RD Y. Driyanto. Dalam tugas ini Koor Santher dibantu oleh rekan-rekan dari Exultate, khususnya Sheila sebagai organis, dr. Ika di Sopran, Ibu Husodo di Alto dan Mas Thomas Hargono di Bas. Ini karena banyak anggota Koor Santher yang berhalangan tugas... ada yang harus ke luar negeri (Korea & USA), keluar kota, ke Papua, ke luar provinsi (ke Bali) dan lain-lain.
Semoga tugas-tugas yang akan datang dapat berlangsung baik.
Terima kasih untuk semua yang terlibat dalam pelayanan ini.
Salam saya
Thomas A. Sutadi - dirigen

Friday 1 May 2009

HUMANIORA - Gagasan Pater J Drost SJ

Beberapa waktu yang lalu saya menulis tentang perlu tidaknya kita belajar bahasa Latin. Kebetulan, saya menemukan tulisan di bawah ini di internet.... Pater Drost menulis tentang Humaniora beberapa tahun yang lalu... ini sebuah topik yang cukup bagus dan menarik, dan yang barangkali hanya dipahami oleh sedikit orang, misalnya oleh Ibu Ari...he..he..he.. Pater Drost juga menyinggung sedikit tentang bahasa Latin. Ada baiknya kita perhatikan... Tulisan ini saya copy-paste dari tulisan alm. Pater J Drost SJ dalam http://www.unisosdem.org. Semoga berguna untuk umat Santher. (Thomas A. Sutadi)

HUMANIORA
Oleh J Drost SJ

APAKAH dalam pendidikan kita ada unsur humaniora? Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu lebih dulu menjawab pertanyaan: "Apa itu humaniora?" Yang disebut human sciences, atau humanities, bukanlah humaniora. Bahkan, disiplin-disiplin yang tergolong dalam human sciences belum ada, ketika humaniora dibentuk.

Dalam humaniora klasik, bahasa tidak disebut sebagai disiplin. Maka, bahasa Latin bukan unsur humaniora. Bahasa Latin, yang karena perkembangan historis, merupakan bahasa yang dipakai sebagai lingua franca, seperti halnya bahasa Melayu yang dulu merupakan lingua franca di Indonesia. Bahkan bahasa Latin bukan merupakan bahasa "dasar". Bahasa yang paling tua di Eropa dan sebagian dari Asia adalah bahasa Indo-European.

Bahasa Yunani, Celtic, Italic, Germanic, Slavic, Baltic, dan Indo-Iranian merupakan anak bahasa. Bahasa Latin adalah dialek dari bahasa Italic. Selain itu, bahasa Latin tidak pernah menghasilkan karya filosofis, drama, dan literatur yang berarti. Kebanyakan karya Latin adalah mengenai hukum, administrasi, dan politik.

Namun, karena suku Latinum berhasil merebut kekuasaan di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara, mereka berhasil menjadikan bahasa Latin sebagai bahasa pemerintah dengan mendesak bahasa Yunani sebagai bahasa budaya. Karya Yunani tidak pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, tetapi diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan lewat Spanyol dari bahasa Arab ke bahasa Latin.

HUMANIORA, yang menjadikan manusia (humanus) lebih manusiawi (humanior), mula-mula terdiri atas gramatika, logika, dan retorika; trivium. Pada awalnya, segala tekanan diletakkan pada gramatika yang sering dipelajari selama tiga tahun lebih.

Ini terjadi karena penguasaan bahasa Latin (bahasa studi dan pergaulan di universitas, bukan bahasa ibu para mahasiswa) sama sekali belum cukup untuk mengomunikasikan hasil proses belajar. Dan, bila bahasa komunikasi tidak dikuasai secara mutlak, logika dan retorika tidak mungkin berjalan baik. Lama-kelamaan keadaan itu diubah; logika dan retorika ditekankan juga. Ada perkembangan dari trivium ke quadrivium: teologi, aritmetika, musik (teori akustik), dan astrologi (sekarang disebut astronomi).

Jadi, pendidikan humaniora bukan bahasa sebagai bahasa. Gramatika (tata bahasa) bermaksud membentuk manusia terdidik yang menguasai sarana komunikasi secara mutlak. Logika bermaksud membentuk manusia terdidik yang dapat menyampaikan apa yang ingin disampaikan sedemikian rupa hingga dapat diterima karena dapat dimengerti dan masuk akal. Retorika bermaksud membentuk manusia terdidik mampu merasakan perasaan dan kebutuhan pendengar, dan mampu menyesuaikan diri dan uraian dengan perasaan dan kebutuhan itu.

APA yang diharapkan dari humaniora zaman sekarang ini?

Sebagai bahan perbandingan, kiranya tidak salah bila kita dengar apa yang diharapkan dari calon mahasiswa oleh universitas-universitas di Jerman.


Tuntutan itu dapat dipadatkan dalam satu kata hochschulreife. Semua calon harus telah mencapai hochschulreife, artinya: kematangan, baik intelektual maupun emosional, agar dapat menempuh studi akademis. Teras kematangan itu adalah kemampuan bernalar dan bertutur yang telah terbentuk.

Jadi, yang siap mulai studi di perguruan tinggi adalah dia yang dapat mengendalikan nalar, yaitu dia yang kritis. Seorang yang kritis adalah seorang yang, antara lain, mampu membedakan macam-macam pengertian dan konsep, sanggup menilai kesimpulan-kesimpulan tanpa terbawa perasaan, menolak perampatan-perampatan (generalisasi), tidak membeo semboyan-semboyan, dan tidak menerima propaganda sebagai pembuktian. Unsur lain yang perlu adalah kritik diri yang memungkinkan orang bernalar dan bertindak obyektif.

Ciri khas dari seseorang yang "matang" masuk perguruan tinggi di Indonesia adalah penguasaan bahasa Indonesia, baik saat bertutur maupun menulis. Tata bahasa dan ejaan harus dikuasai secara mutlak. Logika mencirikan segala cara berkomunikasi.

Bernalar dan bertutur diperoleh dan dibentuk terutama lewat matematika dan bahasa. Matematika mengajar kita bernalar logis. Namun, karena matematika adalah ilmu kuantitas, padahal ilmu-ilmu pengetahuan mencakup lebih dari kuantitas, perlu juga memperoleh kematangan masuk universitas lewat ilmu-ilmu yang lain. Yang paling menunjang dan memperluas perolehan lewat matematika adalah bahasa. Seseorang baru bisa bernalar dan bertutur secara dewasa, bila sudah menguasai ortografi, gramatika, dan sintaksis bahasanya sendiri.

Membaca ini semua, kita tidak heran mendengar seorang rektor universitas di Jerman berkata, "Setiap mahasiswa yang ingin studi kimia harus mempunyai nilai tinggi untuk matematika dan bahasa Jerman. Nilai baik untuk bahasa Latin dan bahasa Yunani diharapkan. Tidak begitu penting nilai-nilai fisika dan kimia".

Seorang rektor lain mengatakan, "Kalau mau studi fisika, nilai untuk fisika dan kimia tidak penting, karena fisika dan kimia akan dipelajari di sini. Tetapi, nilai matematika dan bahasa Jerman harus tinggi, karena nilai-nilai itu menunjukkan apakah calon itu pandai atau tidak."

Di Indonesia, cara kita menangani proses penerimaan mahasiswa sama sekali lain dan tidak memperhatikan aspek itu. Alasannya, karena unsur pokok pendidikan humaniora tidak ada dalam pendidikan kita. Karena itu, sistem Jerman lebih baik diterapkan di Indonesia.

Humaniora adalah gramatika, logika, dan retorika. Logika dan retorika tidak dapat berkembang, karena penguasaan gramatika bahasa Indonesia amat lemah. Mengapa? Sebab, mereka yang menulis, yang berbicara, yang berkhotbah, yang memberi kuliah, yang mengajar membuat kesalahan, yang oleh negara lain akan ditanggapi secara sinis dengan pertanyaan apakah orang itu sudah lulus SD atau belum. Reaksi ini juga timbul di Indonesia.

***
DARI tahun 1960 sampai tahun 1976, setiap hari Minggu saya ke desa-desa di Daerah Istimewa Yogyakarta, berkhotbah memakai bahasa Jawa. Ketika saya membuat kesalahan, saya tetap dipuji karena saya bukan orang Jawa. Tetapi, kalau seorang pastor Jawa membuat kesalahan yang sama, dia dikritik habis-habisan.

Seorang Jawa yang telah berpendidikan tidak boleh membuat kesalahan-kesalahan itu. Dan, saya kira ini berlaku juga untuk semua suku bangsa. Namun, saat mengajar atau memberi kuliah atau menyusun skripsi untuk ujian sarjana, mereka memakai bahasa Indonesia secara salah, mereka dibiarkan. Karena, seperti bahasa Jawa bukan bahasa saya, demikian pula bahasa Indonesia bukan bahasa mereka!

Untuk kebanyakan orang Indonesia, bahasa Indonesia adalah de facto "a second language", sementara bahasa ibu mereka sudah tidak dikuasai lagi. Ini berarti, bahasa Indonesia untuk calon intelektual kita bukan merupakan sarana humaniora. Bagaimana logika dan retorika bisa dikembangkan, kalau gramatika dari bahasa Indonesia tidak dikuasai secara mutlak?

Kesimpulan saya, pendidikan humaniora modern mungkin sekali di Indonesia, asal bahasa Indonesia sungguh-sungguh menjadi bahasa budaya. Bila bahasa Indonesia telah menjadi bahasa budaya, kita akan mampu juga menguasai bahasa asing. Mustahil mempelajari bahasa asing, bila di SD bahasa Indonesia tidak diajarkan secara optimal.

Jadi, syarat mutlak ialah tidak ada pengajaran bahasa Inggris di SD, karena mengganggu pengajaran bahasa Indonesia. Di Eropa dan Amerika, tidak ada satu negara pun yang mengajarkan bahasa asing di tingkat SD. Di kelas I SLTP sampai kelas III SMU, setiap minggu ada lima jam pelajaran bahasa Indonesia dan empat jam pelajaran bahasa asing; paling banyak dua bahasa asing, yaitu bahasa Inggris dan satu bahasa asing lain. Inilah syarat bagi kita orang yang berbudaya: menguasai dua bahasa asing.

Hanya ada satu kesulitan. Bila masing-masing bahasa asing mendapat dua jam pelajaran seminggu, mustahil dapat belajar sebuah bahasa. Karena itu, anjuran saya: hanya satu bahasa asing saja, yaitu bahasa Inggris. Dengan empat jam seminggu selama enam tahun, hasilnya akan cukup memuaskan.

J Drost SJ Ahli pendidikan tinggal di Jakarta

URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0210/10/opini/huma04.htm
Keterangan Artikel Sumber: KompasTanggal: 10 Okt 02Catatan: -
URL Artikel : http://www.unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=599&coid=3&caid=22Copyright © 2002 Uni Sosial Demokrat, http://www.unisosdem.org