Tuesday 22 November 2011

Lomba Koor Antar Lingkungan di Wilayah St Petrus Semplak

Lomba Koor yang Sesungguhnya

Oleh : Thomas A. Sutadi*

Puji Tuhan. Lomba koor antar lingkungan di wilayah St Petrus yang diselenggarakan Minggu, 20 November 2011 pk 11.00 s.d. 14.30 di Gereja St Ignatius Loyola Semplak telah memunculkan berbagai keajaiban, harapan, dan tantangan.

Lomba itu terasa ajaib karena berhasil diikuti oleh 8 dari 11 kelompok koor lingkungan yang ada. Artinya sebagian besar koor berpartisipasi. Lingkungan-lingkungan yang tidak ikut berlomba tidak berarti tidak memiliki koor lingkungan; mereka tidak ikut hanya karena merasa belum siap saja. Kenyataan ini membuktikan bahwa Panitia Lomba dan Pengurus Wilayah, khususnya Seksi Liturgi, berhasil memunculkan koor-koor baru yang akan melayani dalam liturgi-liturgi resmi di Gereja St Ignatius Loyola Semplak. Selamat buat Panitia dan Pengurus Wilayah.

Lomba koor ini juga ajaib karena menjadi tanda bahwa lebih banyak umat untuk berpartisipasi. Saya jadi ingat cerita Bapak Frans Liwun tentang koor di Wilayah St Petrus di masa lalu. Suatu saat, pada waktu wilayah Semplak masih “kecil” ada tugas koor di Katedral BMV Bogor. Karena Wilayah Semplak belum punya koor yang dapat diandalkan, akhirnya yang bertugas di Katedral hanya 3 orang: Pak Frans sebagai dirigen merangkap penyanyi, Pak Nurwiyono menjadi pemazmur dan penyanyi, dan Pak Wagiman menjadi jadi penyanyi pokok. Itu cerita masa lalu yang tidak boleh dilupakan oleh penerus sejarah perkembangan wilayah St Petrus. Ketiga tokoh umat itu pasti sangat bahagia sekarang karena apa yang mereka rintis dahulu sekarang berbuah banyak, yaitu munculnya koor wilayah dan banyak koor lingkungan yang anggotanya tidak hanya 3 orang melainkan lebih dari 15 orang.

Keajaiban pasti terjadi juga dalam setiap kelompok koor lingkungan.

Koor lingkungan St Thomas & St Yohanes misalnya, meskipun tidak menjadi pemenang pertama, tetaplah layak mendapat acungan jempol dan rasa hormat setinggi-tingginya. Dengan hanya 18 orang (termasuk dirigen) koor gabungan ini tampil percaya diri. Mereka tidak peduli menang atau kalah… mereka hanya peduli untuk melayani dengan tulus. Bagi mereka Sabda Yesus berlaku: “Mereka memberi dari kekurangan mereka.” Luar biasa. Kelak, dengan dukungan umat dan para praktisi koor lainnya, koor ini pasti akan dapat berkembang menjadi lebih baik.

Begitu juga koor gabungan lingkungan St Yosep & St Anna. Koor ini dibentuk setelah mereka menerima pengumuman lomba. Dapat dibayangkan betapa sukarnya memulai. Sebagian besar belum tahu bagaimana membaca not. Kesulitan muncul ketika lagu pilihannya harus dinyanyikan empat suara (SATB). Saya tidak dapat membayangkan betapa susahnya Ibu Yanti Christ dalam memulai dan melaksanakan latihan-latihan. Tetapi lihatlah bagaimana mereka tampil. Rasa percaya diri, rasa antusias, semangat untuk memulai sesuatu yang baru dan baik… semuanya tidak menjadi hambatan. Itulah sebabnya mereka mendapat penilaian yang baik dari dewan juri.

Saya juga kaget menyaksikan koor St Christophorus yang tampil percaya diri. Sekitar 7 tahun yang lalu lingkungan ini masih menjadi salah satu rukun atau kring dari lingkungan St Theresia, tetapi mereka tumbuh pesat dan memiliki jumlah anggota koor yang jauh lebih banyak daripada lingkungan St Theresia. Semangat mereka juga luar biasa.

Rasa-rasanya segala kesulitan untuk mengumpulkan warga, kesulitan untuk mencari pelatih, kesulitan untuk mendapatkan informasi tentang lagu-lagunya dan sebagainya terbayar ketika tampil di depan. Bagi saya pribadi, mereka adalah koor-koor yang sangat hebat.

Bagi Koor St Theresia Bogor Raya Permai yang kebetulan dinyatakan sebagai juara I, lomba koor kemarin juga penuh keajaiban. Bagaimana tidak? Beberapa hari sebelum lomba, koordinator koor kami dan motor suara bass, yaitu Pak Edo, mengalami kecelakaan lalu lintas dan harus beristirahat selama lebih dari 3 minggu. Ini memang membuat saya dan rekan-rekan panik dan cemas. Dalam suasana khawatir, kami tetap latihan… namun sampai pagi hari, suara kami masih selalu jatuh (falls). Ketika kami menyanyikan lagu pilihan pun kami membuat kesalahan kecil. Makanya ketika kami dinyatakan sebagai pemenang, rasanya ada yang aneh juga dalam perasaan saya.

Campur tangan Banyak Orang

Semua keajaiban muncul bukan secara tiba-tiba. Ada cerita panjang, ada tokoh-tokoh dan ada campur tangan Tuhan di balik semua itu.

Siapa yang tidak mengenal orang-orang seperti Pak Nurwiyono, Ibu Nurwiyono, Ibu Agnes Yohanes, Pak Wagiman, Pak Frans Liwun, Pak Kris, Pak Agus Basuki dan tokoh-tokoh umat lainnya? Mereka tidak segan-segan “turun ke lapangan” untuk “ngoprak-oprak” (to encourage, mendorong) setiap lingkungan untuk memiliki koor sendiri.

Ini cerita bagaimana beberapa tokoh itu terlibat dalam perjalanan pembentukan koor lingkungan saya. Koor Lingkungan St. Theresia Bogor Raya Permai atau yang biasa disebut Koor Santher dibentuk tgl 7 Juli 2002; mulai berlatih intensif bulan Februari 2003, dan bertugas pertama kali di Gereja St Petrus pada bulan April 2003. Ada rentang waktu 9 bulan sejak kami membentuk koor hingga bertugas pertama kali. Mengapa tidak langsung bertugas? Jawabnya: karena kami belum percaya diri pada saat itu. Maka, ketika Koor Santher bertugas pada awalnya, kami selalu minta (setengah memaksa) Bapak Wagiman untuk mendampingi kami supaya kami lebih percaya diri. Dalam perkembangan selanjutnya, kami juga mendesak Bapak Nurwiyono sekeluarga untuk membantu kami, dan kadang-kadang Ibu Agnes Yohanes dan beberapa ibu atau bapak dari lingkungan-lingkungan lain membantu kami dalam tugas-tugas di Kapel St Petrus. Ketika kami mulai bertugas di Katedral BMV Bogor pada bulan November 2009, kami juga meminta bantuan beberapa orang dari koor lain agar kami merasa lebih percaya diri. Kami bangga bahwa mereka berkenan membantu kami dan menjadi bagian dari sejarah koor kami.

Pesan-pesan Dewan Juri

Kritik, saran dan pesan dari para juri harus kita cermati juga. Kita ini adalah koor-koor Gereja untuk kepentingan peribadatan atau liturgi. Karena itu, lagu-lagu yang kita latih dan nyanyikan memang lagu-lagu yang liturgis. Kita perlu mengenal lagu-lagu tersebut dengan lebih teliti, melatihnya dengan lebih sungguh, menyanyikannya dengan hati dalam suasana doa, dan dengan teknik yang benar (frasering yang tepat, penggunaan resonansi, olah vocal, pernafasan yang benar, dll.) sehingga koor kita bukan menjadi koor konser tetapi koor yang dapat membantu umat untuk berdoa. Menyanyi dengan baik sama dengan berdoa dua kali.

Harapan, Tantangan dan Saran

Munculnya delapan kelompok koor dalam lomba tentu melahirkan harapan. Paling tidak, Ibu Agnes Yohanes dan Seksi Liturgi Wilayah tidak akan pusing mencari petugas koor setiap minggunya. Koor-koor yang telah siap juga nanti dapat membantu bertugas di Katedral BMV.

Namun ada satu hal yang menggelitik saya. Tidak lama setelah selesai lomba, saya mendapat pertanyaan dari salah seorang rekan yang tidak menyaksikan lomba koor: Koor Pemuda ikut atau tidak? Dari 8 koor yang tampil, kecuali koor anak-anak Yayasan Abas, hanya sedikit anak muda yang ikut terlibat. Sebagian besar anggota koor lingkungan adalah orang dewasa. Koor lingkungan saya sendiri terdiri dari orang-orang yang sudah berkeluarga… tidak ada anak muda. Kenyataan ini tentu menjadi tantangan bagi umat St Petrus Semplak. Jika kaum muda tidak didampingi dan tidak dilibatkan dalam kehidupan berliturgi, kelak kita juga akan kehilangan orang-orang yang akan menjadi pilar-pilar kehidupan gereja.

Tantangan kedua adalah bagaimana mendampingi koor-koor yang telah muncul ini agar mereka tidak hanya eksis tetapi juga setia melayani di gereja maupun di lingkungan masing-masing. Kelompok koor lingkungan biasanya dapat menjadi kelompok yang membuat lingkungan hidup. Mereka biasanya rutin bertemu untuk berlatih. Pendampingan oleh Seksi Liturgi Wilayah harus dilaksanakan agar koor-koor tetap memiliki komitmen untuk menjadi koor Gereja Katholik yang benar. Jangan sampai koor tumbuh menjadi komunitas eksklusif aneh yang menyanyikan lagu-lagu aneh di telinga umat, bertingkat aneh di bangku koor, tidak mengenal lagu-lagu dari Puji Syukur atau Madah Bakti, bahkan tidak bisa menjawab aklamasi selama misa berlangsung.

Agar roh dan semangat yang dimiliki koor-koor lingkungan ini tidak padam, kiranya baik kalau diadakan semacam rekoleksi atau pelatihan bersama di tingkat wilayah. Para juri yang bertugas pada lomba koor yang lalu dapat menjadi narasumber untuk pelatihan-pelatihan itu karena mereka memang orang-orang yang telah lama memahami dan menghayati musik liturgi Gereja Katholik, setidak-tidaknya di Keuskupan Bogor.

Saya usulkan agar semua dirigen dan organis dari semua koor lingkungan mengikuti Pertemuan Paguyuban Dirigen dan Organis di Katedral setiap minggu terakhir dalam bulan. Para dirigen dan organis dapat belajar bersama di sana, sharing pengalaman, menimba ilmu dan lain-lain.

Bangunlah, Dada Kelana…

Lomba koor yang kita adakan adalah awal dari perjalanan panjang sejarah koor-koor lingkungan di Wilayah St Petrus. Menjadi pemenang dalam lomba kemarin bukanlah menjadi pemenang yang sebenarnya. Tepat seperti yang disampaikan Bapak T. Marhadi, lomba sebenarnya adalah ketika koor kita melayani di bangku koor dalam Perayaan Ekaristi, dan kita dapat menjadi juara apabila kita dapat menjadi koor Gereja yang baik dan bermutu.

Mari kita buat catatan emas sejarah musik liturgi di Wilayah St Petrus. Mari bernyanyi dengan penuh semangat dan ketulusan seperti yang ditunjukkan oleh Bapak Lukas Waka, dirigen dari Panti Asuhan Abas, ketika memimpin para peserta menyanyikan lagu Nafas Iman di saat penutupan acara lomba. “Bangunlah, dada kelana, hidup nafas iman yang baru….!”

*Thomas A. Sutadi: Dirigen Koor Lingkungan St Theresia Bogor Raya Permai