Tulisan ini kami dapatkan dari beberapa grup WA. Terima kasih kepada seorang penulis yang membagikan gagasan ini kepada kita semua. Semoga berguna bagi umat lingkungan Santa Theresia Bogor Raya Permai. Shalom.
Aku
ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran. Orang yang tidak beristeri
memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya.
(1 Korintus, 7:32).
'Hidup
Pastor itu enak ya?' Sering kali mendengar pertanyaan demikian. Bagi sebagian
orang, hidup pastor terlihat ‘enak’. tidak perlu mikir makan-minum, pakaian,
rumah, biaya ini itu, bahkan masa depan. Mau perlu apapun bisa dipenuhi. Mau
kemanapun ada sarana dan cara. Lagi pula banyak umat yang berbaik hati dan
bersedia membantu. Pastor sepertinya tak punya beban hidup. Dan masih banyak
hal ‘enak’ lainnya yang dipikirkan orang.
Tetapi,
bukankah pastor juga mengalami hal² yang *‘tidak enak?'* Waktu pastor bukanlah
miliknya sendiri. Sebagian besar waktunya didedikasikan untuk banyak orang. Ia
harus siap dipanggil siang atau malam. Kadang kesendirian dan kesepian sebagai
manusia menderanya. Belum lagi ikatan emosional dengan keluarga dan teman² yang
kadang melintas dan tak terbendung.
Dalam
karya pelayanan, pastor tidak bisa memilih tempat yang disukai. Ia harus taat
diutus kemanapun oleh pimpinan. Kalau sudah nyaman di suatu tempat, ia bisa
saja dipindahkan ke tempat lain. Kadang ia ditempatkan di daerah terpencil
dengan medan pelayanan yang berat atau kehidupan yang keras dan sulit.
Dalam
hidup komunitas, seorang pastor tidak bisa memilih siapa rekannya. Ia harus
menerima siapapun. Kadang ia berhadapan dengan rekan yang karakter, hobi atau
minatnya bertolak belakang yang bisa memicu adanya konflik. Tidak ada milik
pribadi. Semua adalah milik bersama dengan uang saku yang sama. Dalam
pergaulan, jika pastor jarang ngobrol dengan umat dibilang jaim, angkuh atau
apalah. Tapi kalau akrab dengan umat, dibilang cari perhatian atau malah jadi
bahan gosip. Jadi, ada juga hal yang tidak enak jadi pastor menurut standar
manusia.
Tapi
bagi seorang pastor, hidup ini bukan soal *‘enak atau tidak’* melainkan bahagia
atau tidak. Melalui tahbisan imamat, ia diutus untuk memancarkan kebahagiaan dan
mewartakan kabar gembira. Kebahagiaan itu bukanlah soal materi atau hal yang
nampak dipermukaan, melainkan kebahagiaan yang lahir dari cara hidup dan
penghayatan imamat.
Selama
imamat membuat bahagia, maka hal yang *‘enak atau tidak’* tetaplah menjadi
sarana bukan tujuan. Tujuan imamat bukan soal seberapa banyak sarana yang
dimiliki, tetapi seberapa jauh dan dalam kebahagiaan serta sukacita Tuhan
menjangkau orang lain.
Apa
kekuatannya? Hidup seorang pastor melulu karena rahmat dan kasih Tuhan. Tuhan
selalu punya cara untuk menuntun seorang pastor sebagai pelayan-Nya melewati
dinamika suka-duka hidup ini.
Bagaimanapun
juga pastor adalah manusia yang punya kelemahan. Kehadiran pastor bisa saja
menjengkelkan karena pastor terlalu egois, otoriter dan merasa paling berkuasa,
yang punya orientasi material lebih besar dari pada spiritual dan sebagainya.
Kadang ia jatuh dalam dosa.
Itulah
sebabnya pastor harus selalu berdoa, merenung, retret, meditasi dan mengolah
diri agar menyadari kelemahan diri dan memperbaikinya.
Apapun
kelemahannya, pastor adalah orang biasa yang dipanggil Tuhan untuk melaksanakan
hal-hal yang luar biasa. Melalui seorang pastor, Tuhan bisa saja membuat orang
yang kehilangan harapan kembali mendapatkan harapan. Orang yang kering hidupnya
mengalami kesegaran, orang yang lemah mendapatkan kekuatan, orang yang sedih
mendapatkan kegembiraan, dll.
Dalam
diri seorang pastor......
Tuhan
sedang berkarya demi keselamatan jiwa-jiwa
No comments:
Post a Comment