Pengantar dari Redaksi:
Tulisan Romo Yohanes Driyanto ini kami dapatkan dari grup WA Pristina Liturgica Keuskupan Bogor. Terima kasih kepada Romo Driyanto yang memungkinkan tulisan beliau boleh beredar di grup WA para praktisi liturgi Keuskupan Bogor.
Salam.
PANDEMIK CORONA SUATU KESEMPATAN!
Dampak
Virus Corona yang aangat jelas dan langsung mengena pada Umat beriman Katolik
adalah ditiadakannya Perayaan Ekaristi dan kegiatan gerejawi lain yang
mengandaikan kehadiran banyak orang. Karena kenyataan itu kebanyakan orang
menjadi shocked dan stressed.
Terungkaplah
segera dari mereka umumnya kata-kata, sikap, dan tindakan yang melawan,
menghojat, dan marah terhadap virus itu. Menarik untuk diperhatikan, bahwa
ternyata dari sekian banyak ungkapan yang negatif itu, ada juga yang bernada
menerima. Ungkapan itu berupa ajakan berdoa, yang isinya bukan memaksa Tuhan
menghentikan virus itu, tetapi mohon agar Tuhan mencurahkan Roh Kudus sehingga
kita dapat menemukan sesuatu yang baik di balik peristiwa yang tidak
menyenangkan ini.
Berikut
ini disampaikan beberapahal yang sepertinya kita agak melupakannya dan sekarang
sebaiknya kita menemukannya lagi. Atau, kalau belum pernah kita mendapatkannya,
saatnya sekarang kita menemukannya. Lebih lanjut, saat ini dapat juga menjadi
bagi kita kesempatan untuk memperdalam maknanya.
Ekaristi
bukan obyek tetapi terutama tindakan. Umumnya kita berkata: mendapatkan
pelayanan misa, ikut misa, mendapat komuni, mengambil komuni. Padahal, kata
Ekaristi itu berarti mengucap syukur. Lengkapnya, mengucap syukur kepada Allah
melalui Yesus Kristus. Suatu tindakan. Suatu aksi. Dengan pengertian itu,
tampaklah pada kita bahwa ada hal lain yang juga penting selain mendapatkan
pelayanan misa dan mendapatkan komuni. Kita mesti bersyukur. Untukitu, mari
kita temukan berbagai bentuk atau cara lain untuk mengucap syukur kepada Tuhan
melalui Yesus Kristus itu juga.
Tuhan
tidak hanya di gereja. Orang pagan (tidak percaya kepada Tuhan) meyakini bahwa
Dewa mereka tinggal atau diam di kuil. Sebagai orang katolik kita percaya bahwa
Tuhan dapat hadir di mana-mana. Untuk kebenaran itu, ada yang menyatakan dengan
lugas bahwa Tuhan tidak hanya di altar tetapi juga di pasar. Karenaitu, Tuhan
dapat ditemukan dan ditemui di tempat yang bukan gereja, bukan di gunung
tertentu, dan bahkan bukan di Yerusalem (bdk. Yoh 4, 21-24).
Kehadiran
Tuhan tidak menuntut kerumunan banyak orang. Tentu saja sangat menyenangkan
apabila suatu acara keagamaan atau perayaan iman dihadiri banyak orang. Sangat
mungkin dalam himpunan besar orang itu timbul dalam hati dan pikiran kita suatu
kebanggaan, perasaan superior, atau sejenisnya. Tanpa kita sadari,
ketidakhadiran banyak orang membuat kita ciut hati, inferior, dan bukan
siapa-siapa. Kita lupa bahwa Tuhan pernah bersabda bahwa di mana ada dua atau
tiga orang yang berkumpul atas namaNya, Tuhan hadir di situ (Mt 18, 20).
Tuhan
hadir ketika Ia dibicarakan. Kita mengatakannya dalam bahasa umum dengan kata
sharing iman. Pada saat itu dibicarakan siapa Tuhan dan bagaimana Ia bercampur
tangan dalam hidup kita. Dari masa para Rasul telah diyakini dan diajarkan oleh
Gereja bahwa ketika Tuhan dibicarakan, Ia hadir di situ (Didhache 4, 1).
Berdoa
di kamar. Dengan keras Yesus mengritik orang munafik yang suka berdoa di
rumah-rumah ibadat dan di jalan umum sehingga dilihat oleh orang banyak. Dengan
begitu mereka telah mendapatkan upahnya. Yesus menghendaki agar kita berdoa
dengan masuk kamar (di rumah), di tempat tersembunyi. Justru apabila kita
berdoa di tempat yang seperti itu, Allah akan memperhatikannya (Mt 6, 5-6).
Ekaristi
pusat dan puncak kehidupan kristiani. Ini benar. Namun, yang mesti kita sadari
adalah kenyataan bahwa sekalipun pusat dan puncak, itu hanyalah bagian dari
keseluruhan. Pusat dan puncak itu bukan segala-galanya. Ada bagian lain yang
kita sebut pinggir dan dasar. Apabila saat ini kita tidak dapat melakukan bagian
yang adalah pusat dan puncak, sekurang-kurangnya kita masih dapat melakukan
bagian lain yang merupakan pinggir dan dasar. Termasuk bagian pinggir dan dasar
itu di antaranya adalah: doa-doa, praktek kesalehan, perbuatan tobat, dan
amal-kasih. Dengan itu kita tidak hanya memusatkan seluruh diri kita pada
bagian tertentu tetapi juga berusaha membangun bagian-bagian lain yang juga
tidak kalah penting.
Albert Einstein pernah berkata, “Ilmu tanpa agama
adalah pincang; agama tanpa ilmu adalah buta.” Semoga dengan keadaan sulit ini
kita siap belajar atau menggali ilmu sehingga hidup keimanan kita menjadi lebih
terang dan tidak sulit menemukan jalan atau arah kepada tujuan yang sebenarnya.
Sekurang-kurangnya, kita tidak terus berhenti pada keadaan shocked dan stressed
tetapi berangsur-angsur menjadi surprised dan berakhir dengan joy.
Bogor,
25 Maret 2020
Yohanes
Driyanto
No comments:
Post a Comment