Thursday 1 August 2019

UMAT SANTHER DAN MUSIK ROHANI

Umat Katolik di Lingkungan St Theresia Bogor Raya Permai sudah mengenal banyak contoh musik atau nyanyian liturgi. Lagu-lagu yang diambil dari buku Puji Syukur sebagian besar dapat digunakan dalam perayaan-perayaan liturgi, khususnya Ekaristi. Di luar musik atau nyanyian liturgi, umat Santher perlu juga mengetahui apa yang dimaksud dengan musik rohani agar umat dapat menempatkannya pada porsi dan posisi yang tepat dalam kegiatan berdoa.

Musik Rohani adalah musik yang dapat digunakan pada ibadat atau doa-doa yang bersifat devosi baik secara pribadi maupun dalam komunitas, tetapi tidak digunakan dalam upacara-upacara Liturgi termasuk Perayaan Liturgi Ekaristi. 

Tentu musik dan lagu rohani ini haruslah memiliki syair yang seturut dengan ajaran Gereja dan tidak mempromosikan ajaran yang bertentangan dengan ajaran Gereja. Musik Rohani ini dapat pula membantu umat menghayati misteri Kristus lebih dalam lagi.

Musik Rohani dapat hadir di mana saja dan kapan saja (selama di luar Upaca Liturgi). Kita dapat menyanyikannya atau mendengarkannya: ketika terjebak macet, sambil berbelanja, atau dalam persekutuan doa (mis. Persekutuan Doa Karismatik). Karena Musik Rohani ditujukan kepada individu atau komunitas kecil, individu atau komunitas inbilah yang memiliki control yang lebih besar terhadap tipe music dan instrument musik yang digunakan. Musik Rohani tidak memerlukan legalisasi dari uskup untuk dapat digunakan. Tetapi sekali lagi harus ditekankan bahwa Musik Rohani tidak dapat digunakan dalam Upacara-upacara Liturgi. Untuk upacara liturgi, termasuk Perayaan Ekaristi haruslah Musik Liturgi yang digunakan.

Dengan pemahaman itu, umat Santher, terutama kor Santher, semoga terus dapat memilah dan memilih lagu sesuai peruntukannya dan setia kepada apa yang sudah digariskan oleh Gereja.

Perlunya untuk memurnikan ibadah dari keburukan gaya dan aliran musik, dari bentuk-bentuk ekspresi tidak menyenangkan, dan dari teks-teks musik bersemangat yang tidak layak untuk dijadikan sebagai bentuk perayaan liturgi, untuk menjamin martabat dan keunggulan dengan komposisi liturgi.” (Santo Yohanes Paulus II)