Friday 15 June 2018

KUTIPAN KONSTITUSI APOSTOLIK “MISSALE ROMANUM” (BAGIAN KEDUA)


Berikut ini adalah kelanjutan dari kutipan KONSTITUSI APOSTOLIK “MISSALE ROMANUM”.

Bagi Anda yang belum membaca kutipan sebelumnya, silakan klik link Konstitusi Apostolik“Missale Romanum”

Akan  tetapi,  jangan  mengira  bahwa  pemugaran Missale  Romanum  itu  secara  mendadak  jatuh  dari  langit!  Kemajuan  dalam  bidang  studi  liturgi  selama  empat  abad  sebelumnya  jelas  sudah  merintis  jalan  ke  arah  pemugaran  itu.  Tidak  lama  sesudah  Konsili  Trente,  penelaahan  serta  penelitian atas “naskah-naskah kuno” yang ditemukan di Perpustakaan Vatikan dan di tempat lain, menurut  kesaksian  pendahulu  kami  S.  Pius  V  dalam  Konstitusi  Apostolik  Quo  primum,  telah  memberikan andil yang tidak sedikit bagi pemugaran Missale Romanum. Sejak itu banyak sumber  liturgi  kuno  ditemukan  dan  diterbitkan;  begitu  pula  rumus-rumus  liturgi  Gereja  Timur  dipelajari  lebih  mendalam.  Banyak  orang  mengharapkan,  agar  khazanah  ajaran  dan  harta  iman  itu  tidak dibiarkan terus tersembunyi dalam keremangan lemari-lemari perpustakaan, tetapi di buka dan dimanfaatkan untuk menerangi dan menghangatkan hati serta budi orang kristen.

Sekarang  kami  ingin  sedikit  menguraikan  garis  besar  susunan  Missale  Romanum. Pertama-tama  kami  minta  perhatian  untuk  Institutio  Generalis8  yang  kami  cantumkan  sebagai  Proemium (Prakata).  Di  dalamnya  dikemukakan  kaidah-kaidah  baru  untuk  merayakan kurban  Ekaristi,  baik  mengenai pelaksanaan perayaannya serta tugas-tugas khusus para pelayan dan para peserta, maupun mengenai perlengkapan dan tempat yang diperlukan untuk kebaktian ilahi.

Unsur pembaharuan yang paling menonjol kiranya terletak dalam apa yang kini lazim disebut Prex Eucharistica (Doa Ekaristi atau Doa  Syukur  Agung).  Dalam  Ritus  Romawi  bagian  pertama  doa  ini,  yakni  “prefasi”,  sepanjang  sejarah  selalu  terbuka  untuk  aneka  rumusan,  tetapi  bagian  berikutnya,  yang  dinamakan Canon, selama kurun waktu abad IV dan V memperoleh bentuk yang tetap. Sebaliknya Liturgi-liturgi Timur selalu mengizinkan adanya variasi tertentu dalam Anafora-anafora itu sendiri. 

Bertalian  dengan  ini,  pertama-tama  Doa  Syukur  Agung  diperkaya  dengan  banyak  rumus  prefasi,  entah  diambil  dari  tradisi  kuno  Gereja  Romawi  entah  digubah  baru,  agar  dengan  demikian  aspek-aspek  khusus  dari  misteri  keselamatan  dapat  ditampakkan  dengan  lebih  jelas,  dan  agar  disajikan  alasan-alasan yang lebih banyak dan lebih berlimpah untuk bersyukur. Selain itu, kami menentukan bahwa  Kanon  Romawi  ditambah  dengan  tiga  Doa  Syukur  Agung  baru.  Akan  tetapi,  baik  atas  pertimbangan  pastoral  maupun  demi  kelancaran  konselebrasi,  kami  menetapkan  bahwa  kisah  institusi  harus  sama  dalam  semua  rumus  Doa  Syukur  Agung. 

Dari  sebab  itu,  Kami  menghendaki, agar dalam setiap Doa Syukur Agung, kata-kata itu dirumuskan sebagai berikut: Atas Roti: Accipite et  manducate  ex  hoc  omnes!  Hoc  est  enim  Corpus  meum,  quod  pro  vobis  tradetur;  dan  atas  piala:Accipite et bibite ex eo omnes! Hic est enim calix sanguinis mei novi et aeterni testamenti, qui pro vobis  et  pro  multis  effundentur  inremissionem  peccatorum.    Hoc  facite  in  meam  commemorationem.  Sedangkan  kata  Mysterium fidei dicabut  dari  konteks  kata-kata  Kristus  Tuhan  dan  diucapkan  imam untuk membuka aklamasi umat. 

Sejauh  menyangkut Ordo  Missae,  “tata  cara  dibuat  lebih  sederhana  dengan  tetap  mempertahankan  hal-hal  yang  pokok,”9  dengan  menghilangkan  “pengulangan  dan  tambahan  tidak  perlu  yang  muncul  dalam  perjalanan  sejarah,"10  dalam  kaitan  dengan  tata  cara  persembahan  roti  serta anggur dan tata cara pemecahan roti serta komuni.

Selanjutnya,  “beberapa  hal  yang  menjadi  pudar  dikikis  waktu  dihidupkan  kembali  selaras dengan kaidah-kaidah semasa para bapa Gereja.”11 misalnya homili12 dan doa umat;13 juga tata cara tobat  atau  tata  cara  pendamaian  kembali  dengan  Allah  dan  sesama  saudara,  yang  dilakukan  pada  permulaan Ekaristi, kini mendapatkan kembali makna asli sebagaimana mestinya. Konsili  Vatikan  II  juga  menentukan  agar  “dalam  kurun  waktu  beberapa  tahun  bagian-bagian penting  dari  Alkitab  dibacakan  kepada  umat.”14

Oleh  karena  itu,  seluruh  khazanah  bacaan  hari  Minggu  diatur  dalam  lingkaran  tiga  tahun.  Kecuali  itu,  pada  setiap  hari  Minggu  dan  hari  raya  pembacaan  surat-surat  dan  Injil  didahului  dengan  satu  bacaan  lain,  yang  diambil  dari  Perjanjian Lama atau – dalam Masa Paskah – dari Kisah Para Rasul. Dengan ini kesinambungan proses dalam sejarah keselamatan menjadi lebih jelas, sebagaimana tampak dalam sabda-sabda yang diwahyukan Allah  sendiri. 

Khazanah  bacaan  Alkitab  yang  melimpah  ini,  yang  pada  hari  Minggu  dan  hari  raya  menyajikan  bagian-bagian  yang  paling  penting,  akan  dilengkapi  dengan  kutipan-kutipan  lain  dari  Alkitab, yang dibawakan pada hari-hari lain.

8 Dalam edisi Indonesia disebut Pedoman Umum.
9 KL, no. 50; bdk. SBL 2A, no. 50.
10 KL, no. 50; bdk. SBL 2A, no. 50.
11 KL, no. 50; bdk. SBL 2A, no. 50.
12 KL, no. 52; bdk. SBL 2A, no. 52.
13 KL, no. 53; bdk. SBL 2A, no. 53.
14 KL, no. 51; bdk. SBL 2A, no. 51.

(Akan dilanjutkan)