Thursday 19 August 2010

Surat Presidium KWI

Inilah surat Presidium KWI, yang ditandatangani oleh Mgr Martinus D.
Situmorang OFM Cap, selaku Ketua Presidium KWI, dan Mgr Pujasumarta,
selaku Sekjen. Tadi siang, Senin, 16 Agustus 2010, surat ini
diserahkan oleh Mgr Suharyo selaku Wakil Ketua Presidium KWI, dan Mgr
Pujasumarta, selaku Sekjen.

Surat ini merupakan pernyataan resmi Gereja Katolik Indonesia, tentang
segala hal, terutama menyangkut masalah korupsi dan intoleransi
kehidupan beragama. Dalam hal terakhir ini bukan hanya menyangkut Umat
Nasrani, melainkan juga Jemaat Ahmadiyah yang juga mendapat perlakuan
intoleransi.

(diambil dari milis santher@yahoogroups - kiriman dari Bapak Wisnu)

No. : 164/II/8/2010 16 Agustus 2010

Kepada YM
Presiden Republik Indonesia
Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono
di J A K A R T A

Bapak Presiden yang kami hormati dan cintai,

Menjelang peringatan 65 tahun Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia
perkenankan kami, para Waligereja Katolik Indonesia, menulis surat kepada Bapak
Presiden.

Pertama kami ingin berterimakasih kepada Bapak Presiden. Di bawah
kepemimpinan Bapak Presiden negara kita berhasil mengatasi
goncangan-goncangan yang berkaitan dengan perubahan-perubahan mendalam
12 tahun lalu.

Kehidupan bangsa menjadi lebih mantap, konflik dan kekerasan mereda,
perekonomian mulai berkembang positif, di dunia internasional
Indonesia berdiri secara terhormat. Dan kami bersyukur, bahwa di bawah
kepemimpinan Bapak Presiden, Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika tetap menjadi acuan dasar
kebijakan negara.

Akan tetapi, Bapak Presiden, semua keberhasilan yang kami syukuri dan
kami akui ini tidak menutup kenyataan, bahwa di dalam masyarakat
terdapat keresahan-keresahan yang semakin mendalam, yang kalau tidak
ditanggapi secara positif dapat mengancam masa depan bangsa kita.
Di satu pihak sebagian cukup besar rakyat Indonesia masih menghadapi
kesulitan-kesulitan serius dalam hidup sehari-hari: kesulitan mendapat
pekerjaan, beaya pendidikan dan kesehatan yang tetap tinggi,
kriminalitas dan premanisme yang memberikan perasaan tidak aman,
kualitas hidup terutama bagi orang kecil terus menurun. Sesudah 65
tahun merdeka lebih dari 100 juta warga bangsa belum menikmati taraf
kehidupan yang wajar.

Pada saat yang sama rakyat menyaksikan elit politik sibuk dengan
dirinya sendiri.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam sepuluh bulan terakhir membuat
masyarakat semakin sinis. Setiap hari media menyajikan berita: para
wakil rakyat yang seakan-akan hanya mencari trik-trik baru untuk
mengisi kantong mereka sendiri; kepolisian memberi
kesan bahwa mereka dengan segala cara men-sabotase setiap usaha untuk
memberantas korupsi di kalangan mereka sendiri; kejaksaan agung
dicurigai sengaja memperlambat pengusutan penyelewengan; ada mafia
hukum sehingga rakyat sulit memperoleh keadilan. Sementara itu
pemerintah kelihatan membiarkan lembaga-lembaga yang bertugas
memberantas korupsi, seperti KPK, digerogoti wewenang dan wibawanya.

Bapak Presiden, rakyat semakin mendapat kesan bahwa elit politik hanya
melayani diri mereka sendiri. Hal ini akan sangat fatal karena rakyat
akan kehilangan kepercayaan terhadap sistem politik kita sekarang,
yang dengan susah payah telah kita bangun bersama sejak 12 tahun, yang
menjunjung tinggi Pancasila.

Ada dua perkembangan yang mengkhawatirkan. Di satu pihak semakin
banyak orang tidak mau tahu lagi tentang politik, tentang nasib
bangsa, tentang cita-cita bersama. Mereka hanya mengejar keamanan dan
sukses mereka sendiri. Mereka ingin masuk ke dalam lapisan golongan
yang mampu menikmati konsumsi tinggi tawaran di iklan, promosi dan
mall-mall. Mereka menyerah kepada oportunisme yang mereka cermati
merajalela di kalangan elit politik. Rasa solidaritas dan kebangsaan
menguap. Contoh yang diberikan oleh para elit meyakinkan rakyat bahwa
bukan kejujuran, kerja keras dan berkualitas yang membuat seseorang
sukses, melainkan kecekatan dalam memanfaatkan setiap kesempatan,
koneksi, penipuan. Meluasnya sikap asal-asalan tersebut menggerogoti
substansi moral bangsa kita dan membahayakan masa depan.
Di pihak lain kita menyaksikan bertambahnya intoleransi, sikap
tertutup, keras dan fanatik. Kemampuan untuk menerima saudara dan
saudari sebangsa yang berbeda budaya dan agamanya, semakin menipis.
Dengan sendirinya potensi konflik dalam masyarakat bertambah.

Secara khusus kami ingin mengajukan tiga keprihatinan.

Yang pertama adalah kenyataan bahwa sekitar 40 persen bangsa kita
belum hidup sejahtera. Setelah 65 tahun merdeka kenyataan ini mesti
menggugah kita. Rakyat mengharapkan kebijakan politik dan ekonomis
yang secara kasatmata berpihak pada orang kecil. Yang sekarang dilihat
oleh rakyat adalah proyek-proyek besar di mana rakyat hanya menjadi
penonton, bahkan mengalami penggusuran. Yang diharapkan oleh orang
kecil bukan peminggiran atau penggusuran, melainkan pemberdayaan, agar
mereka semakin berdaya.

Yang kedua, kami tidak dapat menyembunyikan kecemasan kami karena
bertambahnya intoleransi dalam masyarakat. Yang paling kami sesalkan
adalah bahwa negara kelihatan tidak bersedia melindungi mereka yang
keyakinannya berbeda dari mayoritas. Kami amat sedih bahwa ada orang
yang harus beribadah dalam suasana kecemasan, yang harus melarikan
diri dari rumahnya karena diancam, bahwa ada orang-orang yang ditekan
untuk melepaskan apa yang mereka yakini. Keragu-raguan aparat untuk
melindungi mereka yang terancam justru menambah semangat mereka yang
mau memaksakan kehendaknya. Sudah lama kami menunggu kata dari Bapak
Presiden kepada seluruh rakyat Indonesia, yang memperingatkan bahwa
kita semua satu bangsa, bahwa semua warga, entah kelompok besar entah
kelompok kecil, sama-sama dilindungi dan dijamin hak asasinya untuk
mengikuti keyakinan keagamaan mereka. Kami menunggu jaminan terbuka
dan jelas dari Bapak Presiden bahwa negara tidak akan membiarkan
kelompok-kelompok minoritas diancam.

Yang ketiga, yang paling serius, adalah korupsi yang meresap ke
seluruh kehidupan bangsa. Kami gembira bahwa di bawah kepresidenan
Bapak pemberantasan korupsi sudah semakin digalakkan. Tetapi korupsi
tetap mengangkat kepalanya yang busuk.

Kami berpendapat bahwa sudah waktunya segala keragu-raguan yang masih
ada ditinggalkan, dan korupsi ditindak tanpa pandang bulu. Bapak
Presiden boleh yakin bahwa massa besar rakyat Indonesia akan mendukung
dengan gegap gempita usaha pemberantasan korupsi yang Bapak Presiden
gulirkan, dan tidak akan ada vested interests yang akan dapat
menghentikan ofensif antikorupsi itu. Kami berpendapat, bahwa korupsi
merupakan kanker di tubuh bangsa Indonesia yang akan menghancurkannya.
Bangsa yang tidak lagi tahu apa itu kejujuran tidak dapat bertahan.

Bapak Presiden yang kami hormati dan kami cintai, itulah hal-hal yang
ada di hati kami, dan yang mau kami ajukan kepada Bapak Presiden. Kami
sangat sadar, bahwa mengatasi semua masalah bukanlah pekerjaan yang
mudah. Kami mengakui kemajuan-kemajuan yang sudah tercapai. Tetapi
sekarang rakyat Indonesia memerlukan perspektif ke masa depan yang
meyakinkan.

Kami akan mendukung setiap kebijakan Bapak Presiden yang memacu
perjuangan demi Indonesia yang sejahtera, adil dan maju, di mana semua
warga mengalami bahwa martabat mereka terlindungi, atas dasar
Pancasila.
Kami menyertai kepemimpinan Bapak Presiden dengan doa-doa kami yang tulus.

P R E S I D I U M
KONFERENSI WALIGEREJA INDONESIA
Mgr. Martinus D. Situmorang, OFMCap
K e t u a

Mgr. Johannes Pujasumarta
Sekretaris Jenderal

No comments: