Wednesday 29 April 2009

PINDAHNYA TOKOH AGAMA DARI SATU AGAMA KE AGAMA LAIN

Sudah banyak kali saya menerima informasi dari teman-teman saya, dari koran, dari radio dan televisi, dari internet dan dari sumber-sumber lain tentang adanya tokoh Muslim yang berpindah agama menjadi Kristen (entah Protestan entah Katolik)... Namun saya juga sering mendengar bahwa ada juga tokoh-tokoh Kristen (entah Protestan entah Katolik) yang akhirnya memeluk agama Islam.

Belum lama ini saya membaca milis Santher, khususnya email dari Pak Herry Djoko tentang film baru yang dirilis di Iran. Di situ juga ada nama yang bagi saya masih asing: Pdt. Mohammad Ali Makrus At-Tamimi. Saya mencoba mencari informasi tentang orang ini di internet... dan memang benar... ia dulu adalah seorang muslim... bahkan seorang tokoh FPI di Jawa Timur... tetapi kemudian memutuskan menjadi seorang Kristen. Saya membaca banyak komentar dalam blog-blog saudara-saudara Muslim... betapa mereka sangat marah dengan sikap pendeta tersebut. Kalau saya amati, yang membuat mereka marah adalah bahwa sang pendeta tersebut merilis VCD dan buku yang isinya “menjelek-jelekkan” agama Islam. Saya sempat membaca sebagian dari tulisan (tapescript) sang pendeta... dan saya berkesimpulan bahwa tulisan tersebut memang sangat keras dan “menghujam”... Tidak heran bahwa ada beberapa komentar miring tentang Pdt. Mohammad Ali Makrus At-Tamini. Misalnya ada yang mengatakan bahwa ia melakukannya demi mencapai ketenaran sepintas...

Sementara itu orang Kristen, khususnya Katolik, juga pernah mengalami hal yang tidak mengenakkan ketika seorang tokoh agama lain bernama Hajjah Irene Handono berkotbah di mana-mana di seluruh Nusantara. Beliau sering mengaku sebagai mantan biarawati, pernah belajar teologi (bahkan sekarang beliau dianggap sebagai ahli Kristologi oleh sementara kalangan), pernah disuruh mempelajari kelemahan agamanya sekarang dan sebagainya. Dalam beberapa kotbahnya, beliau banyak menyinggung soal kejelekan-kejelekan dalam agama Katolik. Hal ini tentu saja meresahkan. Benar, beliau pernah menjadi Katolik, pernah masuk biara Ursulin di Bandung (tetapi tidak sampai mengucapkan kaul), pernah belajar tentang teologi (Hal ini lumrah dilakukan oleh para aspiran/novis dan calon biarawan/biarawati pada umumnya... walaupun hanya dasar-dasarnya saja)... Namun data-data juga menunjukkan bahwa beliau pernah menikah dengan seorang mantan frater... beliau juga meninggalkan biara karena tidak dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan biara... dan beliau belum pernah mengucapkan kaul sebagai biarawati.

Saya juga pernah memiliki kenalan di stasi asal saya... Dari kecil, ia memang sudah tampak aneh... sebagai anggota putra altar, dia lebih menonjol dibanding yang lain dalam hal “keanehan”... misalnya sikap doanya yang berlebihan dan spontanitasnya yang lebih nyata daripada teman-temannya. Menurut saya, dia sebenarnya cerdas tetapi dia tidak mendapatkan bimbingan yang dia butuhkan. Saking “pinter”-nya, ia pun “keblinger”... Ia bergaul dengan anak-anak remaja di luar Gereja... sampai akhirnya ia memutuskan menjadi seorang “pendakwah” agama lain. Apalagi, keluarga istrinya memang termasuk tokoh agama lain. Lalu apa yang didakwahkan oleh kenalan saya tersebut? Ia menjadi sangat terkenal di pelosok-pelosok kampung karena ia sangat rajin mengupas apa yang dinilainya jelek dalam agama Katolik... Ia laris manis... (Hebatnya: orang-orang Katolik di stasi saya tidak pernah marah pada kenalan saya... justru rumah orang tuanya pernah dipakai sebagai tempat doa lingkungan... lha bapak dan ibunya kan memang tidak bersalah to?). Saking larisnya, kenalan saya menjadi “lupa” pada keluarganya... Ia merantau bahkan sampai luar Jawa... dan menjadi masyur di mana-mana. (Hebat yang kedua: Ketika istrinya melihat bahwa orang-orang Katolik tidak marah, ia justru tergerak untuk mempelajari agama suaminya. Sang istri pun datang kepada ayah saya dan minta dibaptis... Anda tahu? Ayah saya yang menjadi prodiakon dan katekis saat itu terkejut bukan kepalang.... Dan memang benar... sang istri pun dibaptis setahun kemudian, begitu pula dengan anaknya... sementara sang suami entah ada di mana).

Kita perlu mencermati secara bijak fenomena “pendeta” atau “ulama” atau “tokoh agama” karbitan... yang menjadi terkenal karena menjelekkan agama lamanya. Menurut saya, seandainya seseorang memang memilih untuk berganti agama, biarkanlah itu... sejauh itu pilihan hati nuraninya. Tetapi... janganlah ia menjelek-jelekkan agama lamanya... apa pun itu alasannya. Koar-koar tentang praktek-praktek agama lain yang menurut seseorang salah atau kurang baik justru akan memperkeruh suasana, merusak jalinan persaudaraan, merendahkan martabat agama sendiri dan melanggar cinta kasih.

Tahun 1990-an... pernah terjadi ada seorang pendakwah agama lain yang melakukan ceramah di sebuah tempat ibadah di desa saya... Pak Kepala Desa pun hadir beserta jajarannya. Banyak sekali yang hadir dalam ceramah tersebut... bahkan ratusan orang rela berjalan kaki berkilo-kilo meter dari desa lain untuk mendengarkan ceramah dari seseroang yang mengaku bernama Anastasia.. seorang mantan suster biarawati. Rekan saya, Mas Gunawan Handoyo yang sekarang menjadi anggota DPRD Kabupaten Kulon Progo, sempat merekam ceramah tersebut dengan tape recorder-nya karena rumahnya memang sangat dekat dengan tempat ibadat tersebut. Saya sendiri tidak melihat ceramah itu tetapi saya sempat meminjam rekaman itu dan mendengarkannya.

Apa yang terjadi? Sang “mantan biarawati” melontarkan guyonan-guyonan dan kritik-kritik sinis tentang agama Katolik... tentang tiga Tuhan, tentang orang Katolik yang menyembah patung, tentang puasa dan pantang yang aneh, tentang Yesus... dll. Dia mendapat sambutan antusias dari penggemarnya... Tepuk tangan dan umpatan kepada orang Katolik terdengar membahana (karena acara itu memang disiarkan lewat pengeras suara sehingga dari jarak 3 kilometer pun Anda bisa mendengar... Ingat, ini di pelosok desa tahun 90-an yang belum ada suara sepeda motor...).

Hebatnya... belum juga sampai separo ceramah, lebih dari dua pertiga tempat duduk sudah kosong... para pendengar dari desa saya pada umumnya langsung beranjak pergi... pulang... dan sebagian lainnya langsung menuju rumah keluarga-keluarga Katolik ... sambil menangis... Mereka minta maaf.... Mereka bilang, “Bagaimana saya harus membenci teman-teman Katolik saya? Bagaimana saya harus berpisah dari tetangga-tetangga Katolik yang selama ini menjadi saudara-saudara saya?” Hebatnya... orang-orang Katolik juga bersikap sangat tenang... tetapi keesokan harinya memang tetap diadakan pertemuan di Balai Desa... semua tokoh agama dan masyarakat dikumpulkan... Aparat dari kecamatan, kepolisian dan koramil terlibat mendamaikan. Kesimpulan pertemuan: acara-acara seperti itu harus dilarang karena menciptkan suasana perpecahan...

Cinta lebih kuat daripada perpecahan dan kebencian. Mengapa tidak membiarkan cinta bersemi dalam diri di antara pemeluk agama yang berlainan? Bukankah semua bentuk cinta berasal dari Tuhan yang sama? Mari kita waspada agar kita tidak terjebak pada fenomena “murahan”, yaitu menjadi mashyur karena menebar kebencian. Tebarkan "fenomena cinta" kepada sesama sekalipun mereka berbeda dari kita.

No comments: