Wednesday 19 November 2008

TANDA WEWENANG USKUP

oleh: P. William P. Saunders*

Seorang teman non-Katolik menemani saya menghadiri upacara pentahbisan. Ia bertanya mengapa uskup mengenakan apa yang ia kenakan - topi khusus dan tongkat; saya juga tidak mengerti. Mohon penjelasan
~ seorang pembaca di Falls Church

Uskup mengenakan tanda wewenang khusus yang merupakan ciri khas jabatan Uskup, kepenuhan Sakramen Imamat, yaitu: salib dada, cincin uskup, mitra, tongkat uskup dan, khusus uskup agung, pallium.

Tanda wewenang umum yang menyatakan jabatan uskup adalah salib dada dan cincin uskup. Salib dada (= pektoral, dari “crux pectoralis”) dikenakan oleh Bapa Suci, para kardinal, para uskup dan para abbas (= pemimpin biara pria). Salib dada digantungkan pada seuntai kalung (atau tali) dan dikenakan di dada, dekat jantung. Di masa-masa silam, dalam salib dada terdapat sepotong reliqui dari Salib Asli, atau reliqui seorang kudus. Walau tidak dalam semua salib dada pada masa sekarang didapati reliqui, namun tradisi terus berlanjut. Yang menarik, pada tahun 1889, Tahta Suci menganjurkan agar salib dada dari seorang uskup yang telah wafat, yang di dalamnya terdapat reliqui dari Salib Asli, hendaknya diwariskan kepada penerusnya. Ketika mengenakan salib dada, seturut tradisi uskup mengatakan, “Munire me digneris,” mohon pada Tuhan kekuatan serta perlindungan terhadap segala yang jahat dan terhadap segala musuh, dan agar Sengsara dan Salib-Nya senantiasa tertanam dalam benaknya.

Para uskup juga mengenakan cincin uskup. Di masa lampau, diadakan pembedaan antara cincin kepausan (yang bertahtakan batu permata, menurut tradisi batu amethyst berwarna ungu / lembayung) dan cincin uskup (yang di atasnya terukir lambang keuskupannya atau gambar lain). Cincin uskup, seperti ikatan perkawinan, melambangkan bahwa uskup “dikawinkan” dengan keuskupannya. Juga, cincin uskup akan dipergunakan, setidak-tidaknya di masa lampau, untuk membuat cap meterai uskup di atas lilin panas pada dokumen-dokumen resmi. Lagipula, dalam tradisi Katolik, menghormati atau “mencium” cincin uskup, sebagai ungkapan rasa hormat atas kuasanya, dipandang pantas; yang menarik, indulgensi sebagian diberikan bagi mereka yang melakukannya.

Tanda wewenang lainnya - mitra, tongkat uskup dan pallium - dipergunakan dalam upacara-upacara liturgi. Mitra adalah “hiasan kepala”. Kata `mitra' berasal dari bahasa Yunani `mitra' yang artinya serban atau mahkota. Dalam Perjanjian Lama, para imam besar dan imam lainnya mengenakan busana khas termasuk mitra: “Dibuat merekalah kemeja dari lenan halus, buatan tukang tenun, untuk Harun dan anak-anaknya, serban dari lenan halus, destar yang indah dari lenan halus, celana lenan dari lenan halus yang dipintal benangnya, dan ikat pinggang dari lenan halus yang dipintal benangnya, kain ungu tua, kain ungu muda dan kain kirmizi, dari tenunan yang berwarna-warna--seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Musa. Dibuat merekalah patam, jamang yang kudus dari emas murni, dan pada jamang itu dituliskan tulisan, diukirkan seperti meterai: Kudus bagi TUHAN. Dipasang merekalah pada patam itu tali ungu tua untuk mengikatkan patam itu pada serbannya, di sebelah atas--seperti yang diperintahkan TUHAN kepada Musa,” (Kel 39:27-31; bdk. Im 8:7-9).

Sulit dikatakan kapan tepatnya Gereja mengambil mitra sebagai bagian busana uskup. Suatu tradisi mengatakan bahwa penggunaan mitra berasal dari jaman para rasul; tradisi lainnya mengatakan bahwa penggunaannya yang pertama kali adalah sekitar abad keenam atau kesembilan. Tentu saja, para seniman merasa bebas untuk melukiskan para rasul dan para santo yang juga seorang uskup dari masa silam dengan mengenakan mitra. Tulisan pertama mengenai mitra ditemukan dalam sebuah bulla yang diterbitkan oleh Paus Leo IX pada tahun 1049, ketika ia menganugerahkan kepada Uskup Eberhard dari Trier “Mitra Romawi” sebagai lambang kuasa dan primatnya atas Keuskupan Trier. Pada tahun 1100, para uskup pada umumnya mengenakan mitra.

Dalam Ritus Latin, awalnya mitra adalah ikat kepala dengan tudung, dan lama-kelamaan muncul seperti bentuknya yang sekarang, yaitu segitiga dengan ujungnya yang lancip di atas, dengan dua infulae (dua pita tergantung di belakang). Sebagian beranggapan bahwa pita ini berasal dari pita peluh yang biasa dikenakan seorang atlit Yunani, yang dibalutkan sekeliling kepala dan diikatkan di belakang kepala dalam suatu simpul dan kedua ujungnya tergantung ke bawah. Karena atlit pemenang dimahkotai dengan mahkota kemenangan, keseluruhan hiasan kepala itu segera dipandang sebagai lambang kemenangan. Mitra mendapat arti simbolik serupa yang berasal dari analogi St Paulus, “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran …” (2 Tim 4:7-8). Tentu saja, uskup memang wajib memimpin kawanannya dalam pertandingan keselamatan untuk mencapai garis akhir kemenangan di surga.

Selama berabad-abad, mitra diperpanjang atau diperindah sesuai jamannya. Sebagai contoh, selama masa dekoratif (baroque period, sekitar abad 17-18), mitra dibuat tinggi dan dihiasi batu permata. [Di samping mitra, ada juga Soli Deo, yaitu topi kecil ungu yang lazim dikenakan uskup.] Dalam Ritus Timur, para uskup mereka mengenakan mitra yang seperti topi bundar berhias dengan salib di atasnya.

Tongkat uskup (baculis pastoralis) melambangkan peran uskup sebagai Gembala Yang Baik. Kata yang diterjemahkan sebagai “baik”, dalam teks bahasa Yunaninya yang asli adalah `kalos', yang juga berarti `teladan'. Yesus Kristus adalah gembala teladan bagi para rasul dan para penerus mereka, yakni para uskup, yang ditunjuk sebagai para gembala. Seorang uskup, sama seperti gembala yang baik, haruslah memimpin kawanan umat beriman sepanjang jalan keselamatan, membimbing serta melindungi mereka seperti yang dibutuhkan. Sebab itu, tongkat gembala merupakan simbol yang paling tepat bagi jabatan uskup. St Isidorus menjelaskan bahwa seorang uskup yang baru ditahbiskan menerima tongkat uskup “agar ia dapat memimpin serta membimbing mereka yang dipercayakan kepadanya atau agar memberikan dukungan kepada yang terlemah dari antara yang lemah.” Sejak jaman Paus Paulus VI, tongkat Bapa Suci memiliki salib di atasnya, melambangkan jabatannya yang istimewa, bukan saja sebagai Uskup Roma, melainkan juga sebagai Vicar Kristus yang telah diserahi kepercayaan untuk memimpin Gereja universal.

Yang terakhir, Bapa Suci, para Uskup Agung Metropolit dan Patriark Yerusalem juga mengenakan pallium. (Uskup Agung Metropolit adalah uskup yang sesungguhnya memimpin suatu keuskupan agung dan mengepalai suatu propinsi gerejawi.) Pallium adalah kain putih yang terbuat dari bulu domba, dihiasi dengan enam salib hitam, dikenakan sekeliling leher seperti kolar, di atas kasula, dengan dua bagian yang tergantung: satu tergantung di depan dan satu tergantung di belakang. Pada awal kekristenan, pallium panjangnya sekitar 12 kaki dan dikenakan untuk menghangatkan badan. Umat Kristiani mengambil bentuk ini dan menganggapnya sebagai lambang iman kepada Kristus. Penggunaan pallium mengalami perkembangan seiring perkembangan jaman. Pada abad ketiga, pallium dikenakan baik oleh kaum awam maupun kaum klerus; pada abad keempat, dikenakan oleh paus dan akhirnya hanya beliau seorang yang mengenakannya secara eksklusif; pada abad kelima, pallium dikenakan oleh paus dan para klerus penting yang menerimanya sebagai hadiah dari paus; pada abad kesembilan, pallium dikenakan secara eksklusif oleh paus, para uskup agung metropolit dan uskup-uskup tertentu sebagai tanda kehormatan; dan sesuai dekrit tahun 1978, pallium dikenakan oleh para uskup agung metropolit dan Patriark Yerusalem, juga paus.

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: The Bishop's Regalia” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2003 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

No comments: