Thursday 12 February 2009

6. TINGKAT-TINGKAT DALAM MISTISISME KRISTIANI


(Di-copy-paste dari email Bapak Wisnu di milis Santher. Teks bersumber dari: Encyclopaedia Britannica, 1994, jilid 16: "Christianity, Christian Mysticism", halaman 330-335)

Para mistikus Kristen menguraikan tingkat-tingkat kembalinya roh kepadaTuhan dengan berbagai cara. Menurut Yesuit Belgia Joseph Marechal, dapat dikemukakan bahwa mistisisme Kristiani mencakup tiga tingkat yangdirumuskan secara luas:

(1) integrasi ego secara berangsur-angsur di bawahpimpinan ide tentang Tuhan berpribadi dan dilakukan menurut suatu programdoa dan asketisisme;

(2) suatu pewahyuan transenden dari Tuhan kepada roh(transcendent revelation of God to the soul), yang dialami sebagai kontakatau penyatuan penuh ekstase, sering kali disertai berhentinya daya-dayajiwa;

dan (3) "semacam penyesuaian kembali dari daya-daya jiwa" yang dengan itu ia berkontak kembali dengan makhluk-makhluk "di bawah pengaruh Tuhansecara langsung dan terasa, yang berada dan bertindak di dalam jiwa"(Marechal, "Studies in the Psychology of the Mystics"). Tingkat terakhir inilah, yang ditekankan oleh hampir semua mistikus Kristen terbesar, yangmembuktikan kekeliruan klaim bahwa mistisisme adalah suatu pelarian yang mementingkan diri sendiri dari dunia dan penghindaran tanggung jawab moral.

(1) Mati terhadap diri

Kaum mistikus setuju perlunya mati terhadap diri palsu yang didominasi oleh kelupaan terhadap Tuhan. Untuk mencapai tujuan itu, perlu diikuti jalanpenyucian: roh harus dimurnikan dari semua perasaan, keinginan, dan sikapyang memisahkannya dari Tuhan. Mati terhadap diri ini menyiratkan "malamgelap gulita jiwa" ("the dark night of the soul"), yang di situ Tuhansecara berangsur-angsur dan kadang-kadang secara menyakitkan memurnikan rohuntuk menyiapkannya bagi manifestasi Tuhan.

Kaum mistikus Kristen selalu mengambil Kristus, terutama Kristus yangtersalibkan, sebagai teladan dari proses ini. Menurut kitab "TheologiaGermanica", "sifat manusiawi Kristus sama sekali bebas dari diri, danterpisah dari semua makhluk, yang tidak pernah terdapat pada manusia manapun, dan tidak ada apa-apanya kecuali sebagai 'rumah dan tempat tinggalTuhan' " (bab 15). Mengikuti Kristus berarti mati terhadap diri, penyerahandiri sepenuhnya kepada Tuhan, sehingga orang dapat dipenuhi Cinta ilahi.

Pelepasan dan penyucian seperti itu sering kali diwujudkan secara ekstrem,yang menyiratkan dilepaskannya semua ikatan manusiawi. Secara paradoksal,mereka yang menekankan pelepasan paling mutlak juga menekankan bahwa pemurnian diri lebih merupakan masalah sikap batiniah daripada pelarian dari dunia dan tindakan penebusan secara lahiriah. Menurut William Law:"Cara yang benar satu-satunya untuk mati terhadap diri tidak membutuhkan sel pertapaan, biara atau ziarah. Itulah jalan kesabaran, kerendahan hati, dan penyerahan diri kepada Tuhan" ("The Spirit of Love", Bagian 1).Praktek meditasi dan doa kontemplatif, yang membawa pada keadaan ekstase,adalah khas bagi mistisisme Kristiani dan bentuk-bentuk lain darimistisisme teistik. Ini biasanya menyangkut proses introversi, yang di situsemua citra dan ingatan dari hal-hal lahiriah harus dikesampingkan sehinggamata visiun batiniah dapat terbuka dan siap bagi penampakan Tuhan.

Introversi membawa pada ekstase, yang di situ "jiwa tenggelam dalamkenikmatan jurang Cahaya ilahi" (Richard of Saint Victor, "The Four Gradesof Violent Love"). Pencerahan dapat terwujud sebagai cahaya cemerlang yangaktual. Symeon si Ahli Teologi Baru bercerita tentang dirinya sebagaipemuda yang melihat "Kecemerlangan ilahi yang terang benderang" memenuhi ruangan.

Di jalan penyatuan, banyak di antara para mistikus Kristen mengalamiberbagai fenomena psikis yang aneh dan luar biasa: visiun, "karunia lidah",dan keadaan kesadaran berubah lainnya. Kebanyakan kaum mistikus menekankanbahwa fenomena seperti itu hanya sekunder terhadap esensi mistisisme yang sejati dan malah dapat berbahaya. "Kita tidak boleh bergantung padanya atau menerimanya, " tutur Yohanes Salib dalam bukunya "The Ascent of MountCarmel", 2.11.

(2) Penyatuan dengan Tuhan

Kaum mistikus Kristen mengklaim bahwa roh dapat diangkat kepada penyatuan(union) dengan Tuhan begitu dekat dan begitu sempurna sehingga dapatdikatakan lebur dalam keberadaan Tuhan (merged in the being of God) dankehilangan rasa eksistensi terpisah apa pun (loses the sense of anyseparate existence). Jan van Ruysbroeck menulis, bahwa dalam pengalamanpersatuan "kita tidak bisa lagi menemukan pembedaan antara diri kita denganTuhan" ("The Sparkling Stone", bab 10); dan Eckhart berbicara tentanglahirnya Putra di dalam roh, yang di situ Tuhan "menjadikan saya Putra tunggalnya tanpa suatu perbedaan" (the birth of the Son in the soul inwhich God "makes me his only-begotten Son without any difference") (German"Sermons", 6).

Berbagai ekspresi kuat dari kesatuan tanpa pembedaan (unity ofindistinction) ini tampak berbahaya bagi banyak orang, namun Eckhart danRuysbroeck menekankan bahwa apabila dipahami secara benar, hal-hal itutetap sesuai ajaran. Bernard dari Clairvaux, yang menekankan bahwa dalammenjadi satu roh dengan Tuhan, "substansi manusiawi tetap berada di bawahwujud lain" ("On Loving God", bab 10), dan Yohanes dari Salib, yangmenulis, "roh tampak sebagai Tuhan dan bukan sebagai roh, dan memang Tuhanberkat partisipasi" ("The Ascent of Mount Carmel", ii, 5:7), mengungkapkanpandangan yang lebih tradisional tentang penyatuan dari cinta.

(3) Penyesuaian kembali

Tujuan kaum mistikus bukan sekadar ekstase yang berlalu, melainkan suatu keberadaan permanen, yang di situ sifat-sifat pribadi mengalami transformasi dan terilahikan (deified). Keadaan ini sering kali disebutperkawinan spiritual yang menyatukan Tuhan dan roh.

Kehidupan dalam kesatuan ini mempunyai dua aspek. Pertama, sementarakesadaran akan diri dan dunia sekitar tetap ada, kesadaran itu didampingioleh rasa kesatuan dengan Tuhan terus-menerus, seperti ditunjukkan denganjelas oleh Teresa dari Avila ketika membahas "rumah ketujuh" dalam "TheInterior Castle". Saudara Lawrence menulis, bahwa sementara ia bekerja didapurnya, ia terasuki Tuhan "di dalam keheningan mendalam seolah-olah sayatengah berlutut pada Sakramen Suci" ("The Practice of the Presence of God,bab 4). Kedua, perkawinan spiritual itu merupakan keadaan teofatik: rohdirasakan sebagai sepenuhnya merupakan organ atau alat Tuhan. Di dalamkehidupan menyatu Mme Guyon berkata, bahwa roh "tidak lagi hidup ataubekerja dari dirinya sendiri, melainkan Tuhan hidup, bertindak dan bekerjadi dalam dia." Dalam keadaan ini si mistikus mampu melakukan banyakkegiatan tanpa kehilangan rahmat penyatuan. Menurut penuturan Ignatius dariLoyola, si mistikus adalah "seorang kontemplatif yang bertindak."


[dari: Encyclopaedia Britannica, 1994, jilid 16: "Christianity, ChristianMysticism", halaman 330-335]

No comments: