Thursday 12 February 2009

1. MISTISME KRISTIANI



(Di-copy-paste dari email Bapak Wisnu di milis Santher. Teks bersumber dari: Encyclopaedia Britannica, 1994, jilid 16: "Christianity, Christian Mysticism", halaman 330-335)


Istilah 'mistisisme Kristiani' berarti pengalaman atau kesadaran langsung yang dialami oleh manusia tentang realitas tertinggi yang dipahami sebagai Tuhan dalam konteks iman Kristiani. Intisari mistisisme adalah perasaan adanya semacam kontak dengan apa yang ilahi atau transenden, yang sering kali dipahami dalam bentuk-bentuknya yang tertinggi sebagai penyatuan dengan Tuhan [union with God]. Mistisisme telah memainkan peranan penting dalam sejarah agama Kristen, dan pada akhir-akhir ini tampaknya sekali lagi mempunyai pengaruh yang hidup dan tampak di dunia Kristen.

Di zaman modern, mistisisme dikaji dari banyak perspektif, yang terpenting di antaranya: psikologis, komparativis, filosofis, dan teologis. Naskah-naskah mistikal mulai mendapat perhatian baru, dipicu oleh filsafat-filsafat hermeneutikal dan dekonstruksionis. Di antara masalah-masalah teoretis yang banyak diperdebatkan terdapat masalah seperti apakah mistisisme merupakan INTISARI atau ESENSI dari agama pribadi, atau apakah mistisisme lebih baik dipandang sebagai satu unsur yang berinteraksi dengan unsur-unsur lain dalam pembentukan agama konkrit.

Mereka yang menekankan pembedaan tegas antara pengalaman mistikal dantafsiran yang datang kemudian, cenderung untuk mencari intisari yang sama di balik semua bentuk mistisisme; pihak lain menekankan bahwa pengalaman dan tafsiran tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan mudah, dan bahwa mistisisme dalam kebanyakan kasus terikat pada agama tertentu dan berpengaruh pada ajarannya. Baik mereka yang mencari intisari yang sama, seperti filsuf Inggris Walter T Stace, maupun mereka yang menekankan perbedaan di antara berbagai bentuk mistisisme, seperti sejarawan agama Robert C Zaehner, menggunakan tipologi mistisisme, yang sering kali didasarkan pada kontras antara mistisisme introvertif dan ekstrovertif, yang dikembangkan oleh komparativis Rudolf Otto. Sekalipun berbagai penelitian telah mengritik pendekatan tipologis ini, tetapi banyak sarjana masih melihatnya bermanfaat.
Status kognitif dari pengetahuan mistikal, dan perbenturannya dengan klaim kaum mistik tentang tidak dapat digambarkannya pengalaman mereka, juga menjadi topik yang menarik dari para peneliti mistisisme modern. Di antara penelitian-peneliti an tentang pengetahuan mistikal yang terpenting adalah dari Jesuit Belgia Joseph Marechal dan filsuf Prancis Henri Bergson dan Jacques Maritain.

Hubungan antara mistisisme dan moralitas telah menjadi topik perdebatanintelektual sejak zaman William James (awal abad ke-20), tetapi ada pertanyaan-pertanya an tertentu yang menjadi perhatian para mistikus Kristen selama berabad-abad. Apakah pengalaman mistikal selalu mendukung ide-ide religius tradisional tentang apa yang benar dan apa yang salah, ataukah mistisisme secara total tak tergantung pada masalah-masalah moral?

Masalah-masalah yang menyangkut mistisisme mudah dikenali; tetapi solusinya yang definitif tampaknya tak terjangkau. Peran mistisisme dalam Kristianitas telah dievaluasi oleh berbagai ahli teologi modern. Banyak pemikir Protestan, mulai Albert Ritschl dan Adolf von Harnack, melalui Karl Barth dan Rudolf Bultmann, menolak mistisisme sebagai bagian integral dari agama Kristen, dengan mengklaim bahwa penyatuan mistikal yang berasal dari paham Yunani tidak kompatibel dengan iman yang menyelamatkan di dalam sabda injili. Ahli teologi Protestan yang lain seperti Ernst Troeltsch dalam buku "The Social Teaching of the Christian Churches" (terj. 1931) dan Albert Schweitzer di dalam buku "The Mysticism of Paul the Apostle" (terj. 1931), lebih bersimpati. Para pemikirAnglikan, terutama William R Inge, Evelyn Underhill, dan Kenneth E Kirk, mendukung pentingnya mistisisme dalam sejarah Kristiani.

Kristianitas Ortodoks memberikan kepada mistisisme peran yang begitu sentral dalam kehidupan Kristiani, sehingga semua teologi di dalam agama Kristen Timur per definisi adalah teologi mistikal, seperti ditunjukkan oleh pemikir pengungsi Rusia Vladimir Lossky dalam buku "The Mystical Theology of the Eastern Church" (terj. 1957). Diskusi teologis yang paling luas tentang mistisisme dalam Kristianitas terjadi dalam agama Katolik Roma modern. Selama paruh pertama abad ke-20, para penulis Neoskolastik- -dengan mengacu pada otoritas Thomas Aquinas dan mistikus Spanyol Teresa dari Avila dan Yohanes Salib--memperdebatkan apakah kontemplasi mistikal merupakan tujuan dari semua orang Kristen ataukah merupakan rahmat khusus yang diberikan kepada segelintir orang. Pembedaan berbagai bentuk doa, dan pembedaan antara kontemplasi yang didapat [acquired contemplation] --yang dapat diupayakan oleh orang beriman dengan bantuan rahmat--dengan kontemplasi teresap [infused comtemplation] --yang merupakan rahmat murni dan bukan diperoleh sebagai ganjaran kebaikan, memberikan kerangka bagi diskusi itu.

Ahli teologi Katolik Roma yang lain, seperti Cuthbert Butler dalam buku "Western Mysticism" (1922) dan Anselm Stolz dalam buku "Theologie der Mystik" (1936), melepaskan diri dari kerangka sempit Neoskolastisisme untuk mengkaji tradisi alkitabiah dan patristik yang lebih luas. Pada paruh kedua abad ke-20, para ahli teologi Katolik Roma, termasuk Karl Rahner dan Hans Urs von Balthasar, membahas masalah-masalah teologis kunci dalam mistisisme, seperti hubungan antara pengalaman mistikal dengan tawaran universal akan rahmat pengampunan, serta status mistisisme non-Kristiani.

No comments: